Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Banyak berkomentar, “Bang, tolong tulis, Balikpapan sedang langka minyak. Padahal, kota minyak.” Coba cari tahu, dan ternyata benar, kota yang berada satu daratan dengan saya rakyatnya sedang antre panjang minyak. Siapkan kopinya, wak! Ini paradok di negeri kaya minyak, tapi malah langka minyak.
Balikpapan, dijuluki Kota Minyak. Bukan karena penduduknya suka mandi solar atau berendam di drum Pertalite, tetapi karena sejak tahun 1897, tanahnya mengandung emas cair, minyak bumi. Dari sumur legendaris bernama Mathilda, kilang-kilang pun tumbuh, mengepul, dan menyulap Balikpapan menjadi anak emas industri perminyakan Nusantara. Sebuah kota yang katanya bisa bikin Ferrari menangis bahagia hanya karena mencium aspalnya.
Tapi sekarang, kota itu... kehabisan minyak.
Ini realitas yang menampar lebih keras dari tagihan listrik. SPBU-SPBU kini dipenuhi antrean kendaraan yang tak ubahnya parade kematian. Mobil-mobil berdempetan, saling menatap dengan sorot lampu redup, berharap pada selang panjang penuh harapan bernama nozzle Pertamax. Di antara mereka, ada pengendara motor yang sudah dua hari dua malam antre. Wajahnya kusut, mata berkaca-kaca, bibirnya bergetar sambil membaca doa. Konon, ia sudah tiga kali hampir putus asa, tapi kemudian diingatkan oleh pengumuman Wali Kota, “Jangan panik.” Maka ia bertahan. Karena katanya, harapan adalah BBM paling abadi.
Ironi pun menari-nari seperti badut mabuk di tengah tragedi. Bagaimana mungkin kota yang tidur di atas laut minyak bisa bangun dalam kelangkaan? Bagaimana bisa sebuah kota yang tiap subuh mencium bau oli bisa memohon-mohon setetes Pertamax dari kota tetangga? Samarinda dan Banjarmasin kini menjadi semacam Mesir kuno dalam kisah Yusuf, tempat kita menggantungkan nasib dan logistik. Balikpapan, sang tuan rumah minyak, kini jadi pengungsi di altar distribusi.
Warga mulai berimajinasi liar. Ada yang mengatakan minyak disabotase oleh alien. Ada yang menyalahkan horoskop, katanya Merkurius retrograde bikin tanker nyasar. Beberapa warga bahkan menduga sumur Mathilda telah dikutuk karena sering dilupakan dalam upacara peringatan. Tidak sedikit pula yang mulai menawarkan terapi spiritual di SPBU, “Isi hati dulu, baru isi tangki.”
Sementara itu, di balik layar, Pertamina mencoba menenangkan massa dengan jargon-jargon damai. Kapal tanker telah tiba, distribusi segera normal, harap bersabar. Tapi siapa yang bisa sabar ketika deru knalpot di pagi hari kini tergantikan isak tangis para pengemudi ojek online yang menolak order karena tangki mereka lebih kosong dari dompet akhir bulan?
Dalam keputusasaan, rakyat pun mulai mengenang masa lalu. “Dulu kita hebat,” kata seorang kakek sambil menatap kilang dari kejauhan, “dulu kita bisa beli Pertamax tanpa drama, tanpa air mata.” Kini, kilang itu hanya berdiri bisu, seperti pahlawan tua yang kehilangan pedangnya. Asapnya masih mengepul, tapi tak satu pun warga yakin apakah ia masih bekerja atau hanya sedang menguap karena lelah.
Di titik paling dramatis dari seluruh tragedi ini, muncul pertanyaan paling filosofis sepanjang sejarah kota, “Apa artinya menjadi Kota Minyak... jika minyak pun kini hanya tinggal kenangan?”
Balikpapan tidak sedang krisis BBM. Balikpapan sedang mengalami krisis identitas. Sebab yang paling menyakitkan bukanlah antrean panjang, tapi kenyataan bahwa kota yang katanya kaya, hari ini meminta-minta dari kota sebelah. Sebuah babak sejarah yang ditulis dengan solar, Pertamax, dan air mata absurditas.
Tapi tak apa. Seperti kata pepatah modern, selama masih ada tawa, maka tangki kehidupan belum benar-benar kosong.
Publisher : Timtas M-86#camanewak
Social Footer