Breaking News

Baru Kali Ini Ada Menteri Prabowo Menangis

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Motor86.com

Menteri UMKM, Maman Abdurahman. Menteri dari daerah gue ni, wak! Baru kali ini ada menteri di kabinet merah putih Prabowo, menangis. Ia menangis, bukan seperti anak kecil minta belikan permen. Maman menangis saat ada UMKM tutup gara-gara label kedaluarwa. “Camane ceritenye, wak?” tanya budak Pontianak. Ikuti narasi ini sambil seruput kopi liberika. 

Rabu, 14 Mei 2025. Langit Banjarbaru muram. Hujan gerimis seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Di ruang sidang Pengadilan Negeri Banjarbaru, sejarah sedang ditulis. Bukan tentang seorang koruptor kelas kakap. Bukan pula mafia tanah atau pencuci uang lintas negara. Tapi, tentang seorang penjual dodol rumahan, Firli Norachim, yang duduk sebagai terdakwa karena satu alasan, kemasan produk UMKM tanpa label kedaluwarsa.

Sementara masyarakat masih bergelut dengan harga beras naik dan BBM naik-turun sesuka hati, negara justru memilih untuk turun tangan pada satu plastik dodol tanpa stempel tanggal. Lebih ironis, bukan pelaku industri besar yang diseret, tapi seorang warga biasa. Pemilik Toko Mama Khas Banjar. Seorang ayah. Suami dari Ani. Pejuang dapur yang menjual kue tradisional demi bayar listrik, bukan demi investasi saham.

Menteri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, hadir di ruang sidang bukan sebagai pejabat yang membawa anggaran, tapi sebagai Amicus Curiae, sahabat pengadilan. Ketika dipersilakan duduk dan berbicara, ia tidak langsung membuka map tanggapannya. Ia hanya diam. Matanya berkaca-kaca. Suasana ruang sidang menegang, bukan oleh ancaman atau kemarahan, tapi oleh kesedihan yang begitu telanjang.

“Sangat disayangkan memang,” suara Maman akhirnya pecah, serak, nyaris patah. “Kasus seperti ini tak seharusnya sampai ke pengadilan.”

Ia menghela napas panjang, lalu mengambil selembar tisu yang sudah disiapkan stafnya sejak pagi. Ia tahu, hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah hari ketika sebuah toko kecil dikubur oleh huruf-huruf kecil di belakang plastik makanan.

Ani, istri Firli, duduk di luar ruang sidang. Wajahnya sembab. Ia tidak menangis lagi, mungkin karena air matanya sudah habis sejak malam sebelumnya. Ia hanya menatap kosong pada spanduk kecil yang biasa mereka pakai saat bazar UMKM, “Dodol Mama, Rasa Banjar Asli.” Sekarang, dodol itu bukan hanya kehilangan pasar, tapi juga kehilangan makna.

“Harapan saya, semoga hadirnya Pak Menteri bisa membuka mata hakim... atau kalau tidak, semoga hatinya masih bisa merasa,” ujar Ani saat dikonfirmasi wartawan sehari sebelumnya.

Maman menjelaskan dengan suara yang terus bergetar bahwa seharusnya perkara ini bisa selesai lewat mediasi, bukan lewat jeruji besi. Tapi rupanya negeri ini lebih cepat mengirim pelaku UMKM ke pengadilan dari menyusun program pelatihan label kemasan.

Hingga berita ini diturunkan, sidang masih berlangsung. Tapi satu hal sudah selesai, harapan sebuah keluarga telah retak. Toko Mama Khas Banjar kini tutup. Bukan karena tak laku, tapi karena terlalu lugu untuk paham bahwa sistem tak mengenal maaf, hanya mengenal prosedur.

Dunia boleh tertawa. Tapi di Banjarbaru, seorang menteri menangis. Seorang ibu memeluk kertas nota dagang seperti memeluk anaknya yang hilang. Dodol, makanan manis itu, hari ini menjadi simbol getirnya keadilan yang gagal membedakan antara kriminal dan kelalaian manusia biasa.

Mungkin benar kata pepatah lama Banjar, “Kayu lapuk jangan dibakar, karena ia sudah cukup sakit hanya dengan angin.” Tapi di negeri ini, kayu lapuk malah disulut. Arangnya dijadikan tontonan publik.

Publisher : TImtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close