Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Pendukung Jokowi sepertinya kedatangan dua seteru baru. Setelah Megawati menyindir soal ijazah (walau tak menyebut nama), sudah membuat negeri ini mirip arena perang. Kolom komentar dipenuhi pembelaan penuh dari pendukung Pakde. Belum juga reda, muncul dua aktor baru yang ikut nimbrung soal selembar kertas sakti itu. Siapkan kopi tanpa gulannya, wak. Narasi ini sangat cocok untuk menghangatkan hari libur agar tetap encer dan waras.
Mari kita mulai ceritanya, wak! Di tengah hiruk pikuk bangsa yang terengah-engah menghadapi korupsi, judol, narkoboy, muncul dua tokoh dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni Daniel Johan dan Jazilul Fawaid. Mereka tampil bak filsuf Stoik yang terjebak di sinetron politik, menyuarakan hal yang sangat sederhana tapi nyaris terdengar mustahil, “Kalau memang ijazahnya asli, ya tunjukin aja.”
Daniel Johan, Ketua DPP PKB, muncul dengan gaya kebapakan khas guru BP yang sudah capek menasihati murid bandel. Ia bicara dengan nada jernih, tanpa insinuasi. Menurut Daniel, polemik ijazah Presiden Joko Widodo ini sebetulnya sangat mudah diselesaikan. Tidak perlu tim kuasa hukum yang bersabuk data, tidak perlu polisi yang memeriksa 24 saksi dan menyita flashdisk bak benda keramat dari museum digital. “Tinggal tunjukkan saja ijazahnya ke publik, selesai perkara. Kenapa harus bikin rakyat bingung dan energi publik habis percuma?” kata Daniel, mungkin sambil menatap langit dan bertanya-tanya, kenapa yang sederhana selalu dijadikan rumit?
Masuklah Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum PKB, yang turut bersuara dalam nada serupa tapi dengan sentuhan kenekatan seorang dosen senior yang sudah hampir pensiun dan tak peduli lagi dengan opini kampus. Jazilul setuju dengan Megawati yang sempat bersuara di BRIN. Kalau memang ijazah itu asli, ya tunjukkan saja. Ia bahkan menambahkan, meskipun jalur hukum sedang ditempuh, akan lebih baik jika Jokowi sendiri yang secara ksatria menunjukkan ijazah itu. Bukan karena dipaksa, tapi demi menyudahi kegaduhan nasional yang kini lebih panas dari wajan warteg.
Namun di sinilah absurditas dimulai. Suara Daniel dan Jazilul, yang jelas-jelas rasional, justru terdengar asing di tengah gema pernyataan kuasa hukum dan tim pendukung yang sibuk menampilkan ijazah sebagai relik suci yang tak boleh disentuh kecuali oleh pengadilan surgawi. Firmanto Laksana, kuasa hukum Presiden, muncul seperti paladin hukum dengan armor digital. Ia membawa bukti verifikasi dari Universitas Gadjah Mada, KPU, KPUD, bahkan mungkin penjaga gerbang kampus UGM yang dulu pernah melihat Jokowi lewat. “Kami punya flashdisk!” katanya. Flashdisk itu katanya berisi 24 link video yang bisa menghancurkan fitnah dan menyalakan lentera kebenaran. Sebuah senjata digital yang tampaknya lebih ampuh dari bukti fisik itu sendiri.
Tapi Daniel dan Jazilul tetap tenang. Mereka tahu bahwa dalam republik ini, menanyakan ijazah bisa dianggap kudeta konstitusional. Mereka tahu, pertanyaan logis bisa berujung tuduhan subversif. Tapi tetap, mereka bicara. Mereka bicara karena publik harus tahu bahwa negara ini pernah punya tokoh politik yang masih percaya pada penyelesaian akal sehat.
Namun suara mereka tertiup angin buzzer. Media lebih suka memberitakan ancaman hukum dan kata “fitnah.” Rakyat lebih suka debat kusir ketimbang klarifikasi jujur. Jadilah Daniel dan Jazilul seperti dua nabi minor dalam kitab demokrasi, menyerukan kebenaran kecil yang tenggelam dalam drama besar. Sebuah nasihat waras di zaman di mana kejujuran dianggap subversif, dan ijazah dianggap lebih sakral daripada keadilan.
Di akhir episode ini, satu hal yang pasti, Daniel dan Jazilul tidak minta banyak. Mereka hanya ingin, seperti semua rakyat biasa, lihat aja ijazahnya. Asli apa enggak. Titik. Tapi di negeri ini, titik justru dianggap tanda seru.
Sebagai penonton dari warkop, satu saja solusi meredakan seteru itu, ngopi bareng saja. Saya traktir deh. Inilah sinetron tanpa akhir. Selalu ramai, panas, menguras energi anak bangsa untuk berdebat setiap hari.
Publisher : Timtas M-86 #camanewak
Social Footer