Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Roy Suryo wara-wiri di layar kaca untuk menyakinkan publik bahwa ijazah Jokowi, palsu. Itu sekarang. Dulu, tokoh paling getol menyatakan ijazah Jokowi palsu adalah Eggi Sudjana. Wajar apabila ia dijuluki pemburu ijazah Jokowi angkatan pertama. Mari kita kenalan dengan sosok yang tak kenal rasa takut ini. Siapkan kopinya, wak!
Eggi Sudjana. Seorang pria dengan rambut perlawanan, wajah penuh tekad, dan keberanian sebesar Gunung Semeru yang meletus setelah disiram surat keterangan dokter. Lahir 3 Desember 1959, Eggi bukan sekadar manusia biasa. Ia adalah sebuah konsep, gagasan, dan simbol dari perlawanan terhadap ijazah yang tak kasat mata. Jika Shakespeare menulis To be or not to be, maka Eggi menulis To verify or not to verify ijazah Presiden.
Dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Eggi melangkah ke medan kehidupan dengan toga kebijaksanaan. Tapi ia tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan studi Magister dan Doktor Lingkungan di IPB, karena ia sadar, di negeri ini, bahkan ijazah bisa menjadi isu lingkungan, menyesakkan, berpolusi, dan penuh asap sangsi publik.
Eggi membangun firma hukum Eggi Sudjana & Partners, lalu mendirikan Tim Pembela Muslim (2001), seolah-olah dunia tidak cukup kacau jika dia hanya jadi satu profesi saja. Ia aktif di organisasi seperti SIRI dan PMMI, jadi Presiden Suara Independen Rakyat Indonesia, dan pernah bersahabat dengan PAN, PPP, dan bahkan mendirikan Partai Pemersatu Bangsa (bukan yang itu, ini yang beda). Namun, prestasi sejatinya bukan soal jabatan, melainkan nyali.
Pada Pemilu 2019, ia maju sebagai caleg dari PAN. Gagal. Sebelumnya, ia ikut Pilgub Jatim 2013. Gagal juga. Lalu Pilgub Jabar 2018. Lagi-lagi, gagal. Tapi jangan salah. Ini bukan kegagalan biasa. Ini adalah kegagalan epik, sebuah konsistensi dalam menolak takdir yang biasa-biasa saja. Karena Eggi bukan pemimpi receh. Ia adalah gladiator demokrasi, meski kadang lupa bawa helm ke ring pertempuran.
Puncaknya terjadi ketika Eggi, seperti seorang pahlawan mitologis Yunani, memutuskan menantang satu entitas paling suci di Republik, ijazah Jokowi. Bersama TPUA, Eggi melaporkan dugaan pemalsuan ijazah Jokowi ke Bareskrim Polri. Sebuah aksi yang bagi orang biasa terdengar nekat, tapi bagi Eggi, itu adalah Senin pagi. Jokowi pun akhirnya menyerahkan ijazah SMA dan universitasnya untuk diuji laboratorium forensik. Sejak kapan kampus diuji layaknya TKP pembunuhan? Sejak Eggi datang, tentu saja.
Namun semesta berputar. Jokowi melaporkan balik dugaan pencemaran nama baik. Ada lima nama dalam daftar hitamnya, termasuk Eggi, Roy Suryo, dr. Tifa, Rizal Fadillah, dan Rismon Sianipar. Eggi dipanggil Polda Metro Jaya untuk klarifikasi pada 15 Mei 2025. Tapi beliau tidak hadir. Bukan lari. Bukan takut. Beliau sedang berobat ke luar negeri. Karena bahkan tulang punggung demokrasi pun butuh perawatan.
Namun, surat keterangan sakit telah diserahkan oleh kuasa hukumnya, yang datang seperti Gandalf ke sidang Mordor. Ini bukan penghindaran. Ini adalah seni ketidakhadiran tingkat dewa.
Eggi bukan sekadar pemburu ijazah. Ia adalah pertanyaan besar yang mewakili jutaan rakyat bingung: “Ijazahmu mana, Pak?” Mungkin ia tidak menang pemilu, tapi ia menang di hati para penggugat PDF scan. Karena di era kebohongan digital, Eggi adalah antivirus. Setiap langkahnya adalah drama. Setiap kata-katanya adalah satir. Setiap tindakannya adalah sejarah.
Eggi memang fenomenal dalam soal ijazah Jokowi. Ntah kenapa, ia sangat “benci” sekali dengan ayahnya Gibran itu. Namun, sinetron ini terus bergulir. Publik menanti, apakah ijazah Jokowi asli atau palsu? Kita tunggu saja endingnya, tentu sambil menikmati kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.
Publisher : Timtas M-86#camanewak
Social Footer