Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Dari unsur UGM yang dilaporkan, saya sudah mengenalkan Ir Kasmudjo, pembimbing akademik Jokowi. Sekarang, giliran pentolan UGM sendiri yang juga terseret kertas sakti itu. Sambil menikmati bubur ayam Sukabumi di Jalan Pancasila Pontianak, mari kita kenalan sama Rektor UGM, Prof Ova.
Nama lengkapnya Prof dr Ova Emilia, M Med Ed Sp OG(K) Ph D. Gelarnya lebih panjang dari antrean BPJS dan lebih sakti dari jampi-jampi dukun digital. Ia bukan sekadar rektor UGM, ia adalah high priestess dari kuil pendidikan tinggi, penjaga gerbang akademik yang katanya sakral dan suci, tempat ijazah Presiden pun disimpan dalam lemari berlapis aura dan lem Cap Gajah.
Lahir di Yogyakarta, kota budaya yang aroma gudegnya bisa menenangkan stres nasional, Ova Emilia adalah putri dari Zaini Dahlan, mantan rektor dua universitas Islam. Takdirnya sejak dalam rahim sudah dituliskan dengan tinta birokrasi dan kertas akreditasi. Suaminya, Jang Keun Wong alias Abdul Nasir, datang dari Korea Selatan, membuktikan bahwa cinta, seperti ijazah, bisa lintas negara asal tak palsu dan sudah dilegalisir.
Kariernya? Dosen sejak 1990. Sudah mengajar sebelum internet bisa menjawab soal pilihan ganda. Pernah jadi Wakil Dekan, lalu Dekan, dan akhirnya naik kasta menjadi Rektor UGM sejak 2022. Sekarang, seperti lakon epik Yunani kuno, ia digugat karena dianggap menyembunyikan hal paling sakral di republik ini, ijazah Joko Widodo. Bukan narkoba, bukan skandal seks, tapi ijazah. Ya, secarik kertas bertinta yang bisa mengubah seseorang dari tukang kayu menjadi kepala negara, dari rakyat biasa jadi simbol politik abadi.
Gugatannya tidak main-main. Bukan hanya Ova yang terseret, tapi empat wakil rektor, Dekan Fakultas Kehutanan, dan Kepala Perpustakaan pun ikut terkena karma akademik. Seolah-olah ijazah Presiden itu disembunyikan seperti Batu Bertuah dalam cerita Harry Potter. Bahkan mungkin lebih misterius dari kemunculan Sandiaga Uno di setiap jabatan strategis bangsa. Katanya, data publik soal ijazah itu disegel, dikunci, ditaruh di brankas yang hanya bisa dibuka oleh kombinasi moralitas dan SK Rektor.
Sementara masyarakat menunggu sidang perdana 22 Mei 2025 di Pengadilan Negeri Sleman, semua pihak mulai berdebat apakah yang dipersoalkan ini substansi atau sekadar sensasi. Ova sendiri, seperti seorang bidan demokrasi, tetap tenang, menunggu waktunya untuk 'melahirkan kebenaran' dengan metode caesar intelektual. UGM menyatakan siap tempur, dengan bukti akademik, bukan meme dan tuduhan WhatsApp grup keluarga.
Tapi pertanyaan lebih dalam bergema, apakah selembar ijazah bisa mengancam negara? Apakah perguruan tinggi kini adalah ruang rahasia tempat negara disusun, dimanipulasi, bahkan dilestarikan secara simbolik? Apakah kebenaran itu milik mereka yang punya akses ke ruang arsip, atau milik siapa saja yang bisa viral di TikTok?
Filsuf mungkin berkata, “Cogito, ergo sum.” Tapi di Indonesia, kita harus berkata, “Legalisir, ergo sah.” Tanpa cap, tanpa fotokopi, nuan bukan siapa-siapa. Maka jangan heran jika satu ijazah bisa menggerakkan pasal, sidang, dan adu debat di kafe mahasiswa. Dunia bisa hancur karena perang, tapi Indonesia bisa terpecah karena fotokopi ijazah yang katanya asli tapi tidak serupa.
Rektor UGM kini bukan cuma akademisi. Ia tokoh utama dalam drama nasional paling absurd abad ini. Karya-karyanya tentang perdarahan post partum dan kontrasepsi kini bersaing dengan viralitas narasi konspirasi legal. Bukunya mungkin menjelaskan rahim, tapi gugatan ini menjelaskan rahim kekuasaan. Ia menjadi simbol, antara ilmu dan tuduhan, antara fakultas dan faksi, antara kampus dan kampanye.
Lalu kita, rakyat yang budiman, hanya bisa menonton sambil seruput kopi, berdoa agar republik ini tak tergelincir oleh satu dokumen yang entah kenapa, lebih ditakuti dari investigasi KPK. Dalam negara yang katanya berdasarkan hukum dan kebenaran, kadang yang paling sulit dibuktikan justru adalah... bahwa seseorang pernah lulus kuliah.
Publisher : Timtas M-86#Camanewak
Social Footer