Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Peristiwa meninggalnya suami Najwa Shihab cukup menyita perhatian publik. Ada ribuan komentar masuk ke akun saya. Ramai mengucapkan belasungkawa. Nah, yang cukup mengeryitkan jidat, ramai bicara hijab atau jilbabnya Mbak Nana. Siapkan kopinya wak, agar otak tetap encer dan waras.
Najwa Shihab, jurnalis cerdas yang lebih sering mewawancarai pejabat tinggi. Penampilannya tidak memakai hijab. Ia sering dihakimi negatif karena tak memakai penutup rambut itu. Bukan hanya dia, ayahnya pun ikut terseret. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, ulama tafsir top-tier yang bahkan kamus besar pun segan menyanggahnya.
Netizen pun mulai bersabda, “Bagaimana mungkin anak ulama besar tidak berhijab?” Lalu keluarlah tafsir-tafsir dadakan ala Ustaz TikTok, yang sayangnya lebih sering tafsir perasaan ketimbang Alquran. Padahal, kalau mereka mau mengutip lebih dalam dari sekadar caption Instagram, mereka akan tahu, Quraish Shihab tidak pernah mengatakan hijab itu tidak penting. Beliau hanya menempatkannya pada ruang kontekstual yang lebih luas dari kepala sempit mereka.
Dalam Tafsir Al-Misbah, karya megastruktur teologis yang tebalnya bisa dipakai untuk melatih otot lengan, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Surah Al-Ahzab ayat 59 dan Surah An-Nur ayat 31 memang berbicara soal aurat dan pakaian. Tapi konteksnya bukanlah ruang tamu rumah Anda, melainkan realitas sosial zaman Nabi. Perintah berjilbab saat itu bertujuan membedakan perempuan merdeka dari budak, dalam masyarakat yang masih penuh stigma dan pelecehan. Maka, memakai hijab adalah bentuk perlindungan dan kehormatan, bukan hanya sebatas tampilan luar, tapi simbol moralitas batin.
Namun karena pendekatannya yang kontekstual dan rasional, dua hal yang tampaknya lebih menakutkan dari genderuwo bagi sebagian umat, Quraish Shihab tak luput dari kritik. Beberapa ulama dan akademisi menyindir bahwa beliau terlalu "hermeneutik," terlalu "sejarah," bahkan terlalu "liberal" seperti kopi kekinian. Ada pula yang menuduh beliau condong ke Syiah, karena... yah, mungkin karena beliau terlalu damai untuk ukuran perdebatan Tiktok. Tapi Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib, pernah dengan tegas membela Quraish Shihab, mengatakan bahwa ia mengenal sosoknya jauh lebih baik ketimbang para pengkritiknya yang lebih sering buka akun gosip dari membuka lembar tafsir.
Quraish Shihab bukan tipe ulama yang mendikte. Bahkan, kepada istri dan anak-anaknya, termasuk Najwa, beliau tidak pernah memaksa untuk berjilbab. “Kesadaran spiritual tidak bisa dipaksa,” katanya. “Ia harus lahir dari pemahaman, bukan tekanan.” Itu mungkin adalah kalimat paling Islami yang tidak pernah dijadikan quotes di dinding rumah makan padang.
Najwa, dengan segala kontroversinya, tidak sedang menantang Tuhan. Ia sedang menjadi manusia, dan manusia itu proses, bukan produk jadi dari pabrik kesalehan. Apakah ia tidak berhijab karena abai? Tidak tahu. Tapi apakah itu membuatnya kurang berhak atas kasih sayang Ilahi? Itu hanya bisa dijawab oleh Tuhan yang Maha Menilai, bukan netizen yang maha cepat mengetik “naudzubillah.”
Sebelum nuan mengangkat jari untuk mengetikkan celaan, ingatlah, jari ikam akan dimintai pertanggungjawaban, sama seperti jilbab ukhti. Mungkin, hanya mungkin, Quraish Shihab yang maneh tuduh liberal itu, sebenarnya sedang lebih Islami dari kita semua.
Hijab bukanlah piala keimanan, dan yang tidak memakai hijab bukan otomatis kandidat neraka. Quraish Shihab menunjukkan kepada kita bahwa dalam Islam, perjalanan spiritual tidak pernah bisa diseragamkan seperti seragam SMA. Kita berproses, kita belajar, kita memahami, bukan menghukum.
Maka, jika nuan melihat seseorang tidak berhijab, jangan langsung bilang, “Dia pasti kurang iman.” Tapi coba ucapkan, “Semoga Allah melimpahkan taufik dan hidayah untuk kita semua” sembari becermin, karena mungkin yang paling butuh hidayah adalah komentarmu sendiri.
Hijab adalah simbol, hijab adalah pilihan sadar, hijab adalah proses jiwa. Tapi jika hijab berubah menjadi standar keimanan tunggal dan alat mengukur surga-neraka, maka kita sedang mengubah agama menjadi kontes Miss Muslimah dengan juri netizen anonim.
Pada akhirnya, seperti kata Quraish Shihab, “Yang penting bukan sekadar apa yang dikenakan, tapi mengapa dan untuk apa.”
Publisher : Timtas M-86#camanewak
Social Footer