Breaking News

Roy Suryo Tolak Uji Forensik Bareskrim, Ia Skeptis

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Bareskrim Polri sudah mengumumkan hasil uji forensik ijazah Jokowi, asli. Namun, Roy Suryo skeptis. Yang berhak memutuskan asli atau palsu, pengadilan. Sinetron makin panas saja, siapkan kopi tanpa gula untuk menemani narasi ini.

Roy Suryo. Sang mantan Menpora, yang kini lebih dikenal sebagai Dewa Digital Forensik dari Planet Klarifikasi, kembali menampakkan dirinya. Kali ini bukan untuk membedah foto hoaks atau menyatakan bahwa antena parabola tetangga mengandung pesan tersembunyi dari alien, tapi untuk menguak kebenaran ijazah Jokowi. Ya, sebuah ijazah. Benda sakral berbingkai kayu dan tinta biru yang kini telah naik derajat menjadi pusaka politik nasional.

Roy, dengan gaya setengah skeptis setengah stand-up comedy, mengkritik hasil forensik Bareskrim Polri yang menyatakan ijazah Jokowi asli. “Seakan-akan kita disuruh percaya begitu saja,” katanya, mungkin sambil menggulung lengan baju dan menatap tajam ke kamera, seperti detektif kawakan dalam film noir. Ia tidak puas hanya dengan pernyataan hasil uji forensik. Baginya, tanpa pertunjukan dokumen secara langsung, tanpa breakdown laboratorium yang panjangnya seperti skripsi lima bab, publik seolah dipaksa untuk menelan begitu saja “kebenaran” versi kepolisian. Ini bukan sekadar skeptisisme biasa, ini adalah pementasan ulang The Matrix, versi Roy Suryo.

Menurut Roy, keaslian ijazah tidak bisa hanya dinyatakan oleh polisi. “Itu belum final,” tegasnya, dengan aura seorang hakim agung dari dunia paralel. Ia percaya bahwa kebenaran final hanya bisa diteguhkan oleh pengadilan. Ya, karena seperti kisah cinta di sinetron, semua harus dibawa ke meja hijau agar dramanya lengkap. Tak cukup hanya analisis laboratorium forensik Polri, ia bahkan menggandeng ahli digital forensik internasional dari Amerika Serikat dan Jepang, seolah-olah ini bukan perkara ijazah, tapi skandal internasional yang akan dibawa ke Mahkamah PBB atau setidaknya menjadi topik TED Talk.

Sikap skeptis Roy Suryo bukan tanpa “data” meski jenis datanya kadang lebih cocok disebut narasi multiverse. Ia menyoroti bahwa tidak ada dokumen fisik yang ditunjukkan secara publik. Tidak ada rincian, tinta apa yang digunakan, jenis kertas apa, apakah bau ijazah itu menyerupai arsip tahun 1980-an atau hanya fotokopian dari Koperasi Mahasiswa. Laboratorium Forensik Polri, menurutnya, terlalu irit informasi. Padahal publik haus. Bukan haus air, tapi haus transparansi yang dramatis dan bombastis.

Lalu muncullah permintaan dari Roy yang sungguh epik, tunjukkan ijazahnya, detailkan proses forensiknya, dan sajikan semua itu dalam bentuk yang bisa ditonton publik, mungkin dalam bentuk serial dokumenter Netflix berjudul “The Ijazah Files” dengan narasi Morgan Freeman. Bila perlu, bawa ijazah itu keliling nusantara seperti obor Olimpiade, biar rakyat bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa tinta dan tandatangannya memang berasal dari dekade Orba dan bukan hasil ketikan AI.

Namun yang paling dramatis tentu klaim bahwa ia melibatkan ahli dari negeri Sakura dan Paman Sam. Siapa? Tidak jelas. Dari mana? Tidak penting. Yang penting internasional. Karena, seperti kita tahu, di negeri ini validitas argumen meningkat 300% bila dibubuhi kata “luar negeri”.

Roy tetap menunggu hasil lengkap. Katanya, proses hukum harus dihormati. Tapi di saat yang sama, ia sudah siap dengan gugatan baru jika hasilnya “nggak transparan”. Karena bagi Roy, keadilan bukan sekadar urusan hitam di atas putih. Ia adalah drama sakral yang harus dikawal dengan narasi, sinisme, dan kadang, sedikit gaya sinetron.

Ketika semua sudah lelah, publik sudah move on, pengadilan sudah memutuskan, Roy mungkin masih berdiri sendirian, menatap langit sambil bertanya, “Benarkah ini ijazah… atau hanya ilusi epistemologis belaka?”

Kisah berikutnya, kita belum tahu, wak. Ada yang sudah bosan. Wajar sih. Namun, tak sedikit penasaran dengan endingnya, sad or happy. Bagi yang suka keributan, terus berdoa agar kisah ini jangan sampai tamat. Seru, katanya.

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close