Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Saat menulis ini, ingin menangis sekaligus marah. Tega bangat dan di luar nurul, nenek usia 92 tahun, berjalan saja harus dipapah, eh malah disidang di pengadilan. Negeri sudah kehilangan nurani. Mari simak kisahnya, wak!
Pada usia 92 tahun, manusia biasanya sudah menjadi halaman terakhir dalam buku kehidupan. Namun, bagi Ni Nyoman Reja, justru di usia itulah ia ditulis sebagai terdakwa dalam sebuah persidangan yang, jika kita masih punya hati, tak seharusnya pernah terjadi. Ia berjalan tertatih-tatih ke ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 15 Mei 2025. Rambutnya memutih seluruhnya, tubuhnya ringkih, kulitnya penuh keriput yang tak bisa lagi disembunyikan bahkan oleh waktu. Ia harus dipapah. Bukan ke rumah ibadah. Bukan ke pemakaman suami tercinta. Tapi ke kursi terdakwa.
Negeri ini memutuskan untuk mengadili seorang nenek, yang bahkan untuk menggenggam pena pun mungkin harus dua kali berpikir, karena diduga memalsukan dokumen silsilah keluarga. Sungguh, sebuah “kejahatan besar” bagi bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai Pancasila. Sebuah dosa tak terampuni di tengah negara yang seharusnya penuh kasih dan perikemanusiaan.
Kasus ini bermula pada 14 Mei 2021. Bersama 16 orang lainnya, Nyoman Reja diduga menyusun silsilah keluarga yang mencantumkan I Riyeg, atau I Wayan Riyeg, sebagai anak dari I Made Gombloh, yang menikah secara nyentana dengan Ni Rumpeng. Sebuah informasi yang dianggap bertentangan dengan dokumen resmi yang menyatakan bahwa I Riyeg adalah anak dari Jro Made Lusuh, hasil dari pernikahan biasa dengan status purusa. Tahun berikutnya, 11 Mei 2022, silsilah itu kembali disusun, lagi-lagi dengan versi yang sama. Padahal, ada dokumen dari tahun 1985 dan surat keterangan Nomor 30/K.d/X/1979 yang dianggap sebagai rujukan yang sah.
Di tengah persengketaan tanah warisan inilah, hukum kita memilih jalur pidana. Jaksa Penuntut Umum menyebut tindakan mereka sebagai “pemalsuan dokumen”, mengaburkan asal-usul, dan berpotensi merugikan pihak lain. Hukum pun bersiap menghunuskan pedangnya. Tapi siapa yang benar-benar dirugikan? Tanahnya? Data silsilah? Atau kemanusiaan kita yang sudah habis dikikis birokrasi?
Ni Nyoman Reja tidak datang dengan pelindung hukum yang mewah. Ia hadir hanya dengan tubuh renta dan busana adat Bali berwarna putih. Ia bukan seorang mafia tanah. Ia bukan bagian dari sindikat pemalsuan akta. Ia hanya seorang nenek, yang barangkali bahkan sudah tak mampu membaca ulang dokumen yang ia tandatangani. Tapi hukum tidak peduli. Karena pasal-pasal itu, dingin. Tak punya mata. Tak punya hati. Tak bisa mencium bau minyak kayu putih yang biasa dipakai untuk menghangatkan tulang-tulang tua.
Kuasa hukumnya, I Made Somya Putra, berteriak lirih di tengah kekakuan sistem, ini perdata, bukan pidana. Tapi siapa yang mau mendengar? Pelapor bahkan tidak punya hubungan langsung dengan tanah yang diperebutkan. Tapi pengadilan tetap berjalan. Proses tetap berlangsung. Nenek itu, yang seharusnya duduk tenang menatap langit sore sambil tersenyum kecil mengingat masa lalu, malah duduk menatap hakim dengan mata nanar, bingung, letih.
Publik menyaksikan. Netizen membanjiri media sosial dengan doa dan simpati. Tapi apakah air mata dunia maya bisa menyeka air mata di pipi nenek itu? Apakah keadilan harus dibayar dengan langkah tertatih seorang lansia?
Dalam logika hukum, mungkin ini benar. Tapi dalam logika manusia, ini tragedi. Di negeri ini, kadang yang paling hina bukan kejahatan, tapi cara kita mengadili. Ketika seorang nenek renta dipaksa berjalan ke ruang sidang, sebenarnya bukan dia yang sedang diuji. Tapi kita. Bangsa ini.
Apakah kita masih manusia? Atau hanya mesin-mesin penghafal pasal, yang bahkan tak bisa mengenali rasa iba di wajah perempuan tua yang tubuhnya digerogoti waktu? Nyoman Reja hanya ingin pulang. Tapi sayangnya, pulang yang ia dapatkan... adalah ke ruang sidang.
Maaf, kopi tak pakai gula, pahit dan nikmatnya pun hilang. Tege benar dah!
Publisher : Timtas M-86 #camanewak
Social Footer