Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Baru tenang sedikit, ada lagi keributan baru. Kang Dedi Mulyadi (KDM), ucapannya membuat Fraksi PDIP Jabar tersinggung. Ribut di ruang publik. Mari kita dalami cerita dari tanah pasundan ini. Maaf, kopi jangan lupa.
Tersinggung itu perkara batin. Ia tak bisa diukur pakai neraca APBD, tak bisa diaudit BPK, dan tak bisa disembuhkan dengan permohonan maaf via grup WhatsApp. Tersinggung adalah ledakan emosi paling purba yang bisa meledak hanya karena satu kalimat, atau bahkan... satu gaya bicara.
Seperti yang terjadi di Musrenbang Cirebon, 7 Mei 2025. Di sinilah sejarah menganga, langit demokrasi terbelah, dan hati para legislator retak seperti jalanan provinsi yang tak pernah selesai dilelang. Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat sekaligus orator spiritual penganut aliran eksekutif-ada-di-hati, menyampaikan pidato yang menggetarkan.
"Duit mah nuturkeun. Rezeki mah nuturkeun, karena saya punya keyakinan memimpin tidak harus selalu ada duit."
Dan... boom. Dalam sekejap, keseimbangan politik Jabar terguncang. Anggota Fraksi PDI Perjuangan tersentak, seolah baru mendengar bahwa APBD bisa diganti dengan keyakinan dan semangat. Sebagian mengucek mata. Sebagian lagi mengusap dada. Mereka tidak percaya, dalam era digital, masih ada pemimpin yang percaya pada logika uang akan datang sendiri. Seolah Bendahara Umum itu Dewa Rezeki, dan rapat Banggar bisa diganti dengan meditasi massal.
Tapi KDM belum selesai. Beliau kemudian menyeret sejarah masuk ke ruang Musrenbang.
"VOC saja bangun gedung negara di Cirebon tanpa DPR. Raja-raja dulu juga tak nyusun APBD.”
Ya ampun, VOC, Kang! Sebuah entitas kolonial kini dijadikan referensi tata kelola pemerintahan modern. Mungkin setelah ini, kita akan membahas kenapa Sangkuriang tak butuh musyawarah untuk bangun danau. Mungkin nanti Gubernur bisa mengatakan, “Roro Jonggrang saja bisa bangun candi tanpa koordinasi lintas komisi.”
Tersinggunglah Fraksi Banteng Moncong Putih. Mereka lalu melakukan walk out dari rapat paripurna DPRD Jabar pada 16 Mei 2025. Bukan karena AC bocor. Bukan karena kopi di meja kurang manis. Tapi karena kehormatan DPRD, simbol marwah lembaga legislatif, telah ditabrak tanpa helm oleh pidato nyentrik seorang gubernur.
Memo Hermawan, tokoh legislatif berjiwa pejuang, angkat suara:
"Ini bukan untuk fraksi, ini demi kehormatan DPRD!”
Karena kalau bukan kita yang jaga martabat, siapa lagi? Masa martabat DPRD dijaga Satpol PP?
Doni Maradona Hutabarat juga bersuara lantang, meminta klarifikasi. Mungkin berharap Dedi Mulyadi bisa menjelaskan bahwa ucapannya hanya satire. Atau mabuk kuaci. Atau kerasukan ruh VOC.
Tapi KDM yang lagi naik daun? Ia tenang bagai danau Saguling di pagi hari. Dengan nada zen master, beliau berkata:
“Setiap fraksi berhak mengekspresikan kepentingan politiknya. Itu bagian dari dinamika demokrasi.”
Ayah dari Maula Akbar Mulyadi Putra yang baru saja melamar Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, tidak marah. Tidak membalas. Tidak memanggil paranormal politik. Ia malah terlihat senang, seolah drama ini adalah bagian dari rencana besar membangun Jabar tanpa konflik, cukup dengan keyakinan, diam, dan doa.
Lalu, kita, rakyat biasa, cuma bisa duduk sambil mengunyah tahu isi dan bertanya-tanya, kalau DPRD dan Gubernur saja tersinggung karena pidato, bagaimana nasib rakyat yang tersinggung karena jalan rusak, harga naik, dan bansos nyasar?
Tapi sudahlah. Seperti kata pujangga APBD masa kini:
"Yang penting bukan berapa besar anggaranmu, tapi seberapa dalam keyakinanmu.”
Jawa Barat, negeri Pasundan. Tanah penuh budaya, cinta, dan konflik anggaran yang selalu bisa dijelaskan dengan kalimat, “Duit mah nuturkeun.”
Publisher : Timtas M-86#Camanewak
Social Footer