Breaking News

"Tidak Masuk Surga Sebelum Melewati Kematian"

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Di malam yang terlalu sunyi untuk disebut malam, di sudut kamar yang pernah jadi saksi tawa dan bisik-bisik lembut, Najwa Shihab menangis. Bukan tangis biasa. Tangis itu mengoyak diam. Menelanjangi kesabaran. Menghempaskan seluruh teori tentang ketegaran yang selama ini ia pelajari sejak menjadi jurnalis, sejak belajar menyulam logika di Fakultas Hukum, sejak menjadi anak seorang ulama besar yang berkali-kali mengajarkan bahwa hidup ini hanyalah titipan. Tapi malam ini, tidak ada titipan. Yang ada hanyalah kehilangan. Lengkap, utuh, dan membusuk di pelukan waktu.

Ibrahim sudah pergi. Suaminya. Cinta pertamanya. Teman diskusinya. Penjaga pikirannya. Pria yang ia nikahi di usia 20, ketika ia belum selesai menyusun cita-cita tapi sudah mantap memilih siapa yang ingin ia ajak menua. Ia tidak akan kembali. Tidak akan ada lagi pesan pendek yang muncul di layar ponsel, tidak akan ada suara yang memanggil "Naj" dengan nada jenaka, tidak akan ada tangan yang menyentuh pundaknya saat pikirannya terlalu lelah.

Kematian memang datang, seperti yang selalu dikatakan Abi, Quraish Shihab, bahwa ia adalah pintu menuju keabadian. Tapi tidak pernah dijelaskan betapa pintu itu terkadang seperti lubang jurang. Yang tidak hanya menelan yang pergi, tapi juga meremukkan yang tinggal. Tidak ada yang mempersiapkan Najwa untuk ini. Bahkan setelah berpuluh kali bicara tentang kematian di layar kaca, setelah berpuluh kali mendengar sang ayah berkata, “Kita tidak akan masuk surga sebelum melewati kematian,” semua itu kini terdengar seperti kalimat yang terlalu mudah diucapkan, terlalu sulit untuk dirasakan.

Najwa duduk diam di ujung ranjang, matanya bengkak, napasnya pendek, dan pikirannya melayang ke hari-hari sederhana, saat Ibrahim membenarkan jilbabnya dengan tangan kikuk, saat mereka berdebat tentang buku hukum sambil tertawa, saat mereka menyuapi Izzat kecil sambil bernyanyi lagu-lagu lawas. Semua itu kini menjadi puing. Puing itu menancap tajam di hatinya.

Di Rumah Sakit PON, tempat Ibrahim mengembuskan napas terakhir karena stroke, waktu seolah terhenti. Mesin detak jantung berhenti berbunyi, dan dunia pun membisu. Bahkan malaikat maut, mungkin, menunduk hormat pada cinta yang diputusnya hari itu. Jakarta terasa sepi. Langit menggantung kelabu, seolah ikut berduka. Bahkan udara pun menolak masuk ke paru-paru Najwa, seperti tak ingin menyakiti perempuan yang kehilangan separuh jiwanya.

Nisan di Jeruk Purut akan didirikan. Tanah akan menelan tubuh yang selama ini menjadi pelabuhan bagi lelah dan rindu. Tapi bagaimana mungkin cinta dikubur begitu saja? Bagaimana mungkin kenangan dibungkam dengan sekop dan bunga? Bagaimana mungkin, setelah hampir 25 tahun membangun hidup bersama, semua harus berakhir dalam satu liang dan sebaris doa?

Najwa tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa malam ini ia sendiri. Bahwa meski Abi berkata, “Kematian itu nikmat,” rasa kehilangan tetap membakar dada seperti api kecil yang pelan-pelan menyala. Ia menangis. Lagi. Lebih dalam. Lebih dalam dari liang kubur. Karena di dalam dirinya, seseorang baru saja dimakamkan. Mbak Nana tahu, tidak akan ada yang sama lagi. Tidak esok. Tidak lusa. Tidak selamanya.

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close