Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Sistem Pemilu berubah lagi. Dulu terpisah, lalu disatukan. Sekarang, dipisahkan lagi. Negeri ini tidak pernah berhenti berinovasi demokrasi. Padahal, mau dipisah atau disatukan, substansinya tidak pernah berubah. Tetap saja money politic merajalela. “Buah sawit kayu ara, ada duit ada suara,” kata orang Landak Kalbar. Mari kita ungkap, kenapa MK harus menceraikan Pemilu dan Pilkada? Kali ini saya tak minum kopi lagi, karena sudah tiga gelas hari ini.
Mahkamah Konstitusi akhirnya muncul bak dewa politik dari langit hukum. Lalu, menurunkan wahyu suci berupa Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Sejarah mencatat hari itu sebagai momen penyelamatan massal dari lima kotak suara yang selama ini membuat rakyat trauma akut seperti mantan yang tak kunjung move on. MK, dengan palu kebesarannya, resmi memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu daerah mulai tahun 2029. Ini bukan keputusan biasa. Ini adalah revolusi spiritual demokrasi yang mungkin akan dikenang anak cucu bangsa sambil menangis haru di pojok bilik suara.
Coba renungkan, wak! Dulunya, setiap lima tahun sekali, rakyat jelata disuruh mencoblos lima kertas suara dalam satu hari. Lima! Seolah mereka adalah algoritma superkomputer yang bisa menimbang antara visi-misi presiden, latar belakang caleg DPR, rekam jejak DPD, kualitas DPRD provinsi, hingga tingkat kerajinan caleg DPRD kabupaten yang kadang fotonya lebih cocok jadi bintang iklan skincare. Sungguh pesta demokrasi yang lebih menyerupai kompetisi lari maraton dengan rintangan intelektual, emosi, dan ketahanan fisik. Banyak yang pingsan, bingung, bahkan ada yang mencoblos sambil mengigau nama gebetan. Ini bukan demokrasi, ini penganiayaan konstitusional terselubung.
Seperti kisah epik dalam kitab politik modern, MK akhirnya menabuh genderang perubahan. Pemilu kini akan dibagi menjadi dua babak, dua musim, dua fase kehidupan demokrasi. Pemilu nasional, tempat para capres dan caleg DPR RI bertarung seperti gladiator, akan digelar lebih dahulu. Setelah itu, rakyat diberi waktu napas, minum kopi, istirahat dari baliho, sebelum disambut Pilkada dua tahun kemudian. Seperti jeda iklan di sinetron, cukup untuk makan gorengan sambil berpikir siapa calon bupati yang tidak pernah viral karena kasus korupsi.
Tentu, seperti biasa dalam setiap kisah besar, tidak semua tokoh bahagia. Di Senayan, beberapa anggota DPR mencak-mencak, merasa MK telah “melompat pagar” dan masuk ke pekarangan legislator. Mereka merasa dilewati, tak diajak diskusi, seperti anak kos yang pulang-pulang mendapati kamarnya diganti jadi warung kelontong. Tapi bagi rakyat, keputusan MK ini adalah cahaya dari ujung lorong demokrasi. Sebuah keajaiban yang lebih indah dari diskon minyak goreng.
Kini, masa depan pemilu Indonesia menjadi seperti drama berseri. Ada season 1: Pemilu Nasional. Dan season 2: Pilkada. Kita tinggal tunggu siapa yang akan jadi tokoh utama, siapa yang jadi figuran, dan siapa yang akan mati gaya karena tidak bisa lagi nebeng popularitas capres. Efek “ekor jas” pun tamat. Politisi lokal harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak bisa lagi berharap popularitas presiden akan menyeret mereka ke kursi DPRD seperti arus banjir membawa sandal jepit.
Demokrasi kita akhirnya naik level. Dari sistem serentak absurd jadi sistem terpisah yang (setidaknya dalam teori) lebih manusiawi. Mungkin masih banyak kekacauan nanti, tapi paling tidak, kali ini, kita bisa mencoblos dengan napas panjang, dengan niat lurus, dan tanpa harus disuapi lima surat suara seperti bayi politik yang baru belajar makan.
Putusan MK ini bisa jadi bukan revolusi, tapi paling tidak ini reformasi versi upgrade, seperti mengganti kartu SIM 3G ke 5G. Demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa multitasking. Rakyat punya waktu untuk mikir. Politisi punya ruang untuk drama. MK, sekali lagi, membuktikan bahwa mereka masih punya rasa, rasa empati pada jari-jari tangan yang capek mencoblos lima kotak.
Semoga demokrasi kita tetap absurd, tapi bukan ngawur. Karena dalam negara yang waras, rakyat tidak boleh dibiarkan pingsan hanya karena memilih pemimpin.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer