Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Ini kisah nyata (true stoy). Tapi, bukan di negeri kita, melainkan di negeri jiran. Kisah kejamnya majikan terhadap pembantunya sehingga berujung maut. Simak kisahnya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak tetap encer dan waras.
Namanya, Nur Afiyah Daeng Damin. Berdarah Bugis. Ia tidak meminta dunia. Ia hanya ingin hidup. Itu saja. Nafas, roti, kasur tipis, dan sedikit ruang untuk pulang. Ia tinggalkan kampungnya yang sunyi di Sabah, membawa nama Bugis yang kukuh seperti gelombang laut yang tak pernah diam, demi secuil harapan, menjadi pembantu rumah tangga. Tak mewah, tapi jujur.
Ia masuk ke apartemen bernama Amber Tower, bangunan tinggi yang berdiri seperti menara mimpi, namun ternyata menyimpan neraka di dalamnya. Di sana, Afiyah bertemu dua manusia berwajah manusia tapi berhati timah panas, Etiqah Siti Noorashikeen Mohd Sulong, wanita yang dulu dipuja karena tangan emasnya di MasterChef Malaysia, dan Mohammad Ambree Yunos, suami (atau bekas suami?) yang tak kalah bengisnya.
Mereka menyambut Afiyah bukan dengan senyum, tapi dengan cambuk waktu. Setiap detik di rumah itu adalah penyiksaan. Pukul, tendang, hina, lapar. Afiyah tak diberi gaji, tak diberi izin pulang, tak diberi manusiawi. Ia hanya diberi piring kotor, perintah kasar, dan siksaan yang tak pernah putus.
Bayangkan tubuh mungil Afiyah, hanya seorang gadis kurus berusia dua puluhan, menahan amarah majikan yang merasa dirinya dewa hanya karena pernah tampil di televisi. Etiqah, sang mantan finalis MasterChef, memakai apron sambil mengumpat. Ia bukan lagi memasak rendang, tapi memanggang rasa sakit di tubuh Afiyah dengan bara dendam dan kekuasaan.
Antara tanggal 8 hingga 11 Desember 2021, Afiyah bukan lagi manusia. Ia jadi boneka rusak, dilempar, dicambuk dengan kata-kata dan tangan. Hingga akhirnya, pada suatu malam yang dingin, tubuhnya rebah. Mati. Lenyap. Di rumah yang seharusnya memberinya penghidupan.
Lalu, Etiqah? Dia tidur malam itu. Seperti tidak ada yang terjadi. Mungkin bermimpi jadi juara MasterChef di mimpi yang lain.
Hari ini, tanggal 20 Juni 2025, Mahkamah Tinggi menjatuhkan hukuman, 34 tahun penjara bagi Etiqah dan Ambree. Ya, mereka divonis bersalah. Tapi apakah 34 tahun cukup untuk mengganti satu nyawa yang remuk, satu masa depan yang hilang, satu jiwa yang dikubur hidup-hidup sebelum napasnya benar-benar putus?
Hakim berkata, “Pembelaan tidak membuktikan keraguan yang wajar.” Tapi pembaca tahu, tidak ada yang wajar dalam menyiksa seorang pembantu setiap hari. Tidak ada yang wajar dalam membuat seseorang berharap mati lebih cepat agar luka-lukanya berhenti.
Ambree diberi 12 kali cambuk. Etiqah tidak, karena ia perempuan. Tapi apakah tangan perempuan yang menyiksa itu lebih ringan dari tangan laki-laki? Apakah kekejaman bisa dibagi rata oleh jenis kelamin?
Afiyah? Ia tetap mati. Tanpa upah. Tanpa pamit. Tanpa pelukan terakhir dari ibunya. Ia sudah menjad tanah. Tidak ada pemakaman mewah, tidak ada liputan infotainment. Hanya liang, dan doa yang mungkin tak sampai karena terlalu banyak tangis.
Dan entah kenapa, dunia masih suka bertanya, "Kenapa para pembantu takut bekerja di rumah orang kaya?" Mungkin karena di balik meja makan marmer itu, sering tersembunyi pisau. Bukan untuk masak, tapi untuk membunuh. Pelan-pelan. Dengan senyum selebritas dan tangan yang tak pernah cuci dosa.
Afiyah, jika ada surga, semoga dapurnya bersih. Tanpa majikan. Tanpa kekerasan. Tanpa tangis. Hanya harapan yang matang dan hati yang tak pernah lagi diaduk-aduk sampai hancur. Kini, namanya hanya muncul di berita sebagai “korban.” Tapi dia adalah anak seseorang. Dia punya mimpi kecil. Punya tawa yang mungkin pernah mekar di kampung. Sekarang, hanya batu nisan yang bicara untuknya.
Untuk setiap Etiqah di luar sana yang merasa pembantu adalah milik, dengarkan, Afiyah bukan budak. Ia manusia. Kalian telah gagal jadi manusia.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer