Breaking News

Dam Haji Antara Kambing Afrika Hingga Anak Stunting Nusantara

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86 com

Ada beberapa followers minta, "Bang, bahas dam haji, dong!" Ternyata ada yang beda kali ini. Dulu dengan sekarang sangat beda. Sambil seruput kopi tanpa gula di Jalan Wahidin Pontianak, mari kita kupas "ape bende" dam versi terbaru itu.

Setiap tahun, jutaan umat manusia berduyun-duyun ke Tanah Suci. Mereka bukan sedang liburan, bukan pula menghadiri konser Coldplay. Mereka datang dengan tekad membara dan sandal jepit licin untuk menunaikan rukun Islam kelima, haji. Tapi tahun ini, ada satu babak tambahan dalam lakon haji duniawi yang pantas masuk nominasi Oscar, pertempuran epik soal DAM!

Bayangkan, wak!  Lebih dari 90% jemaah haji Indonesia memilih manhaj tamattu’, jalan para pejuang spiritual yang mewajibkan mereka membayar dam (denda berupa penyembelihan hewan). Tapi jangan salah sangka. Ini bukan sekadar soal memotong kambing. Oh tidak, kawan. Ini tentang kambing siapa, dipotong di mana, dan uangnya masuk ke siapa.

Dulu, para jemaah membayar dam secara mandiri. Ibadah dilakukan dengan semangat, tetapi kadang terlalu mandiri hingga masuk lubang gelap bernama penipuan berkedok syar’i. Kambing dipotong, katanya. Tapi buktinya nihil, kuitansi menghilang, dan kambing mungkin saja masih hidup sehat di Sudan. Maka pemerintah pun turun tangan bak malaikat Jibril versi birokrat, sistem pembayaran dam kini harus melalui skema resmi nan sakral, melibatkan Baznas sebagai penjaga kejujuran dan pengawas gizi nasional.

Di sinilah drama makin menggila. Karena ternyata, Arab Saudi kehabisan kambing. Kambing lokal tak cukup, sementara kambing impor dari Afrika terhalang karantina, distribusi pakan, dan jadwal keberangkatan kapal yang tak cocok dengan jadwal wukuf. Sungguh pelik. Maka pemerintah Indonesia pun mencetuskan ide brilian ala negara Mesir, potong dam di tanah air saja!

Begitulah, para kambing di Blitar, Garut, dan Dompu kini mendapat promosi dadakan, kambing lokal bertugas menanggung dosa global. Mereka tak perlu visa, tak paham talbiyah, tapi menjadi jembatan spiritual antara Mekkah dan Malang. Daging hasil penyembelihan mereka didistribusikan ke fakir miskin. Hebatnya lagi, ini sekaligus menanggulangi stunting, sebuah istilah teknokratis yang dulunya tak pernah disebut dalam kitab fikih.

Tapi jangan dikira drama berakhir di kandang kambing. Transportasi dan akomodasi jemaah masih menjadi tragedi. Beberapa jemaah harus berjalan kaki 6–7 kilometer ke Arafah dan Mina. Bus datang telat, koordinasi kacau, dan sandal jemaah berakhir jadi korban. Tapi kata sebagian pejabat, itu bentuk sunnah para nabi, berjalan kaki dalam kesabaran. Padahal ini bukan kesabaran, tapi keterpaksaan level surga keenam.

DPR pun mengendus aroma tak sedap dari pelayanan haji. Mereka meminta evaluasi total, seperti kalau sinetron rating-nya jeblok. Tapi kita semua tahu, evaluasi hanyalah padang pasir lain dalam perjalanan panjang bernama “semoga tahun depan lebih baik.”

Akhirnya, pertanyaan filosofis pun muncul, apakah dam masih murni ibadah atau sudah jadi komoditas? Apakah kambing benar-benar dipotong demi Allah atau demi laporan tahunan lembaga?

Di tengah segala kekacauan ini, satu hal tetap abadi, para jemaah tetap bertalbiyah, kambing tetap berkorban, dan birokrasi tetap menulis pedoman baru. Maka wahai umat Islam, jika engkau berniat berhaji, siapkan bukan hanya niat, tapi juga rekening, vaksin, sepatu gunung, dan keimanan yang tahan digoyang sistem. 

Haji, seperti biasa, adalah panggung sandiwara kolosal. Ada yang tulus, ada yang teknis, ada yang bisnis. Yang jelas, tahun ini kambing lokal menjadi pahlawan nasional. Jemaah? Mereka tetap bertalbiyah, tetap berharap dam mereka sah, baik di mata Allah maupun di aplikasi e-dam versi Kemenag.

Akhirnya kita semua paham, dalam Islam, bahkan kambing pun bisa menjadi jalan menuju surga. Asal jangan dibelikan dari dana fiktif atau lewat calo spiritual.

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close