Breaking News

Garuda Terkapar, Setengah Lusin Gol Bersarang

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena

PONTIANAK // Monitor86.com

“Setengah lusin gol, tenang. Kita tetap lolos, kok!” Ungkapan untuk menutupi rasa malu, terutama dengan negeri tetangga. Ya, Timnas kesayangan kita masih sangat jauh dari segi kualitas. Walau banyak diperkuat pemain liga di Eropa, tetap tak berkutik di hadapan pemain Jepang. Mari kita ungkap kekalahan sangat menyakitkan ini, wak!

Pada malam yang sakral di Panasonic Stadium Suita, langit Jepang tampak tenang. Mungkin terlalu tenang, seolah sudah tahu bahwa badai akan segera menghantam gawang Timnas Indonesia, bukan sebaliknya. Harapan rakyat Indonesia menumpuk seperti cucian lebaran. Ingin bersih, tapi air mati. Ribuan jiwa berdebar menanti keajaiban, dengan kopi hangat dan pisang goreng garing di tangan, seperti ritual wajib sebelum menyaksikan duel epik antara Garuda dan Samurai Biru. Tapi baru juga seruput pertama, jantung berdegup karena… gawang kita sudah jebol!

Menit ke-15, Daichi Kamada melompat seperti pendekar turun dari Gunung Fuji, menyundul bola dengan penuh rasa dendam sejarah, membuat Emil Audero yang baru saja selesai doa pembuka harus merelakan jaringnya koyak seperti dompet akhir bulan. Skor 1-0. Para penonton menatap layar dengan tatapan kosong, sebagian berpikir untuk mengganti channel ke sinetron.

Belum sempat napas rakyat ditarik utuh, empat menit kemudian Takefusa Kubo menusuk seperti shuriken dilepaskan oleh ninja Kyoto, dan boom! 2-0. Emil belum sempat menyusun pertahanan emosi, bola sudah bersarang lagi. Pisang goreng jatuh ke lantai, kopi mendadak terasa seperti air mata. Ini bukan pertandingan, ini eksorsisme sepak bola. Samurai Biru tidak sedang main bola, mereka sedang menulis puisi dengan kaki, dan puisi itu bertema "Penderitaan Garuda."

Pasukan Patrick Kluivert mencoba bertahan dengan formasi 3-4-2-1, tapi rasanya seperti menyusun barikade dari sedotan plastik menghadapi tsunami. Ole Romeny masuk ke jantung pertahanan Jepang, tapi begitu sampai, malah kena bypass. Jepang main seperti satu tubuh, satu jiwa, satu kode cheat FIFA. Sementara Jay Idzes yang ditunjuk sebagai kapten Timnas, berteriak penuh heroik, “Jangan takut!”tapi lawannya ranking 15 dunia, sedang kita… ranking 115. Ini bukan pertarungan, ini perbedaan kasta bola yang hanya bisa dijembatani oleh mukjizat atau editan Photoshop.

Menit ke-45, Daichi Kamada kembali beraksi. Dribelnya seperti aliran sungai yang menghanyutkan, membelah pertahanan seperti guntingan kertas. Emil hanya bisa melihat, seperti kiper bayangan dalam cerita rakyat. Skor 3-0 menutup babak pertama. Warung kopi mulai sepi, barisan nobar bubar perlahan. Sisa yang menonton hanya orang-orang tangguh, pecinta sepakbila sejati, atau yang sudah pasrah dengan hidup.

Masuk babak kedua, harapan dibangkitkan kembali. Namun, Jepang masih lapar. Ryoya Morishita di menit 53 membuat pertahanan Indonesia seperti parade sirkus, atraktif tapi tak berguna. Skor 4-0. Tiga menit berselang, Shuto Machino mencabik sayap Garuda seperti tokoh antagonis anime yang sudah kehilangan semua keluarganya. 5-0. Di rumah-rumah, banyak yang mulai menghitung cicilan KPR atau tiba-tiba ingin belajar meditasi.

Keisuke Osako, kiper Jepang, sepertinya sempat tidur siang di tengah pertandingan. Bola dari Timnas nyaris tak pernah mendekat. Sementara Emil Audero bekerja lembur tanpa bonus. Menit 79, Mao Hosoya melengkapi penderitaan. Skor 6-0. Para komentator sudah kehilangan kata, netizen kehilangan harapan, dan Emil kehilangan kepercayaan diri.

Tapi jangan salah. Walau kalah telak, Garuda tetap lolos ke ronde keempat. Ya, kita kalah, tapi tak hancur. Kita dibantai, tapi tetap berdiri. Seperti pendekar tua di akhir cerita silat, berdarah, tertatih, tapi tetap menatap matahari dengan dada membusung. Karena ini bukan sekadar sepak bola. Ini adalah cinta. Cinta, seperti Garuda, tak pernah benar-benar mati.

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close