Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Banyak nanya, “Bang, sampai di mana kasus Ridwan Kamil dan Lisa Mariana?” Macam saya ini sohibnya Kang Emil aja. Agar tak mengecewakan followers saya yang suka kepo, mari kita ungkap lanjutan skandal yang sempat menggetarkan bumi nusantara ini. Siapkan kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan warah.
Bandung, 2025. Angin pagi membawa aroma kopi, gorengan, dan satu aroma tambahan yang lebih pekat dari parfum politikus saat kampanye, skandal. Bukan skandal biasa, tapi skandal yang memuat cinta, anak, podcast, dan gugatan seharga dua apartemen mewah di Sudirman Central Business District. Inilah kisah epik Lisa Mariana vs Ridwan Kamil. Drama hukum paling spektakuler sejak Pulau Gag Raja Ampat dikeruk nikelnya.
Lisa Mariana, seorang perempuan dengan keberanian seleher girgaji mesin, menggugat Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, tokoh arsitek, suami dari Atalia Praratya, dan manusia yang pernah membangun taman dengan lampu warna-warni di tengah kota. Kang Emil digugat Lisa sebesar Rp16,6 miliar. Tuduhannya? Bukan karena salah desain jembatan atau telat datang ke undangan 17-an, tapi karena dugaan hubungan gelap dan pengakuan anak. Yes, you heard it. Lisa mengklaim bahwa anak yang ia lahirkan adalah hasil hubungan dengan sang tokoh publik. Untuk membuktikannya, Lisa menantang mantan calon Gubernur DKI ini... bukan adu mulut, bukan main catur, tapi tes DNA. Kalau dengar DNA ini, kok ingat turunan nabi sih, ups.
Tentu saja, ini bukan babak pertama. Ini lebih seperti musim ketiga dari sinetron “Cinta dalam Sidang.” Sebab arsitek Masjid Al Jabar ini tidak tinggal diam. Tidak ada adegan menangis di pojok ruangan sambil mendengarkan lagu Sheila On 7. Tidak. Kang Emil memasang serangan balik lewat pengacara bernama Muslim Jaya Butar-Butar, sebuah nama yang terdengar seperti pahlawan super dalam komik hukum perdata. Gugatan balik pun dilayangkan. Bukan main-main, nilainya Rp105 miliar. Lima miliar untuk luka materiil, seratus miliar untuk luka batin dan reputasi yang remuk lebih parah dari hubungan antara netizen dan logika.
Tuduhan Lisa dianggap sebagai fitnah berulang. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali, seperti iklan minuman elektrolit di YouTube yang tidak bisa di-skip. Tuduhan tentang kehamilan, hubungan gelap, dan ayah biologis, semuanya bertebaran di media sosial, podcast, dan ruang publik digital yang kini jadi medan perang baru. Bahkan Lisa sudah dilaporkan ke Bareskrim atas pelanggaran UU ITE. Laporan itu? Sudah naik tingkat. Seperti anak magang yang tiba-tiba jadi manajer karena rajin datang pagi.
RK meminta lebih dari uang. Ia minta postingan fitnah dihapus. Ia minta permintaan maaf terbuka di semua media selama tujuh hari berturut-turut, seolah Lisa Mariana adalah tokoh sinetron yang kena karma dan harus bertobat di depan cermin digital Indonesia. Ini bukan sekadar balas dendam. Ini adalah bentuk keadilan artistik. Keindahan dalam kehancuran. A revenge arc dalam saga hukum yang bahkan Shakespeare pun akan sulit menuliskannya dengan lebih dramatis.
Semuanya terjadi dalam panggung hukum yang agung. Pasal 132a HIR, 132b HIR, dan semangat rekonvensi bergetar di udara seperti suara marching band pengiring pernikahan selebritas. Hukum perdata Indonesia bersinar dalam kemegahannya. Karena inilah peradaban. Inilah pertempuran. Inilah saat ketika cinta diuji bukan oleh janji, tapi oleh hasil laboratorium dan surat gugatan berkop pengadilan.
Pembaca hanya bisa bertanya, "Siapa yang berdusta? Siapa yang menangis? Siapa yang sebenarnya ayahnya?" Tak ada yang tahu. Tapi semua menunggu episode selanjutnya. Karena ini Indonesia. Di mana realitas selalu lebih dramatis dari sinetron, dan cinta... selalu punya kuasa membuat Rp105 miliar terasa seperti kembalian parkir.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer