Breaking News

Ketika Emosi Tersinggung Dibayar Pakai Nyawa Balita

Oleh - Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitorkrimsus.com

Tulisan saya berjudul “Sedekah Berdarah di Kota Singkawang” telah dibaca 3 juta lebih. Luar biasa, terima kasih netizen. Dari ribuan komentar, ramai bertanya, apa motif sampai Rafa dihabisi oleh Uray Abadi. Baiklah, narasi ini akan menjelaskan motif di balik aksi super kejam pada seorang bocil itu.

Namanya Rafa Fauzan, balita berusia 1 tahun 11 bulan. Ia harus ditarik dari dunia, bukan oleh penyakit, bukan oleh kecelakaan, tapi oleh tetangga sakit hati yang merasa omongannya dipermalukan. Oh, betapa rapuhnya harga diri manusia zaman sekarang, seperti tisu basah yang sudah diinjak-injak truk trailer.

Pada hari Selasa, 10 Juni 2025, langit masih biru dan kehidupan tampak normal. Rafa berada di rumah pengasuhnya, Riska. Sebuah rumah biasa, di gang biasa, dengan tetangga yang ternyata... menyimpan penyakit mental luar biasa. Sekitar pukul 11.45 siang, ketika sebagian besar dari kita sedang rebahan atau menghitung sisa gaji, pelaku bernama Uray Abadi mendekat. Tidak membawa senjata. Tidak membawa rencana terstruktur. Cukup membawa dendam dan tangan kosong. Rafa keluar rumah, seperti biasa. Tapi sayang, hari itu, takdir memilih untuk berjalan di jalur horor. Uray langsung membekap Rafa, membawanya pulang seperti membawa boneka curian dari toko mainan. Ya, hanya beberapa rumah saja jaraknya. Seolah kematian sudah parkir di depan pintu.

Sesampainya di rumah, pelaku melihat Rafa masih hidup. Masih bernapas. Masih punya masa depan. Tapi apa yang dilakukan Uray? Masukkan ke dalam karung plastik. Ya, karung plastik. Barang yang biasanya buat bawa beras, kini digunakan sebagai peti mati darurat. Tidak cukup sampai di situ. Karung dimasukkan ke dalam keranjang sepeda. Keranjang Sepeda, wak. Seolah Rafa adalah paket murah dari Shopee yang ingin dikembalikan karena cacat. Kemudian pelaku membawa karung itu ke pemakaman di Jalan Veteran, dan meletakkannya di teras masjid. Ya, Masjid! Tempat orang mengaji, bukan menaruh jasad anak-anak.

Tak puas bermain kucing-kucingan dengan semesta, malam harinya Uray mengambil lagi karung itu. Mungkin merasa belum cukup dramatis. Maka ia bersepeda ria, seperti orang yang sedang mencari angin malam sambil membawa beban dosa di belakangnya. Akhirnya ia buang jasad Rafa di semak-semak Jalan Man Model. Pada hari Jumat subuh, 13 Juni 2025, pukul 04.00, jasad itu ditemukan di depan Masjid Jami Husnul Khatimah. Kaos biru Rafa telah berubah kehijauan, bukan karena tren warna fashion, tapi karena pembusukan oleh waktu dan kejahatan.

Motif pembunuhan? Tersinggung. Hanya karena ucapan Riska yang katanya menyinggung perasaan pelaku. Sebuah alasan yang seharusnya cukup untuk bikin status Facebook, bukan membunuh anak manusia. Tapi begitulah, di tangan manusia seperti Abadi, perasaan luka dibayar dengan kematian. Ia mengira, dengan membunuh Rafa, maka Riska akan menderita. Sungguh logika kriminal kelas pemula, tak lulus TK kehidupan.

Polisi menyatakan Abadi pelaku tunggal. Tidak ada alat tajam. Semua dilakukan manual. Seperti pembunuhan kuno zaman batu, tapi dengan motif zaman medsos, tersinggung. Polisi sampai turunkan anjing pelacak, tapi jejak hanya mengarah ke satu makhluk, Abadi, sang maestro sakit hati, yang mengira dirinya layak jadi algojo yang di atas.

Kini kita berdiri di ujung rasa jijik. Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini manifestasi dari kepribadian busuk, akal mati, dan harga diri yang rapuh seperti kerupuk disiram hujan. Rafa Fauzan bukan hanya korban pembunuhan. Ia adalah korban dari bangsa yang terlalu lama menganggap dendam sebagai hobi, dan ego sebagai agama baru.

Terima kasih, Uray Abadi. Namamu abadi bukan karena kebaikan, tapi karena kebodohanmu akan terus kami wariskan sebagai dongeng kelam untuk anak cucu, jangan pernah jadi manusia yang dibimbing oleh rasa tersinggung, tapi dibutakan oleh akal yang tak pernah dipakai.

Foto Ai, hanya ilustrasi bukan sebenarnya.

Publisher : Timtas M-Krimsus#camanewak

Type and hit Enter to search

Close