Breaking News

Libur Sekolah, Mengenang Masa Kecil yang Indah

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Libur sekolah telah tiba. Anak-anak zaman sekarang mungkin sibuk dengan ponsel, menggulir TikTok sampai jempolnya kram, atau liburan ke tempat yang namanya sulit dieja tapi mudah ditemukan di Google Maps. Itu gaya liburan anak sekarang.

Lalu, bagaimana liburan anak zaman dulu? Saya dan anak-anak desa Simpang Empat, Kecamatan Tangaran, Sambas, tak mengenal semua itu. Yang kami tahu, libur sekolah artinya bebas. Bebas dari PR, bebas dari seragam, dan bebas berlari ke mana pun kaki membawa.

Saya lahir di sebuah desa yang lebih dekat ke Malaysia dari ke pusat peradaban. Tak ada listrik, tak ada jalan aspal. Televisi? Ada. Tapi seperti benda pusaka, hanya dimiliki segelintir orang. Jika ada yang menonton, maka yang lain ikut nimbrung. Bisa satu kampung nonton satu TV kecil yang harus ditamengi nyamuk.

Tapi justru di sanalah letak indahnya masa kecil. Kami tak disibukkan oleh layar, tapi oleh langit dan lumpur.

Libur SD adalah momen suci. Pagi-pagi kami sudah berkumpul. Bawa katapel, alat bela diri sekaligus senjata berburu paling sakti. Kami jalan kaki, jalan kaki 10 kilometer ke Pantai Merdeka. Bayangkan rombongan bocah kampung, ramai seperti gerombolan semut, tapi lebih bising.

Sepanjang jalan, kami berburu burung. Apa saja yang bersayap dan tak cukup gesit, menjadi target. Kalau kena, langsung disoraki, “Hidup! Hidup!” seperti baru mencetak gol di final Piala Dunia.

Sesampainya di pantai, kami akan mencari muara yang tertutup pasir. Itulah tantangan hari itu. Kami tidak membawa alat berat, tak punya ekskavator. Tapi kami punya tangan, kaki, dan niat gotong royong yang melebihi rapat desa. Kami gali muara sampai air sungai mengalir ke laut. Begitu air surut, mulailah perburuan ikan.

Ikan-ikan kecil terjebak di alur sungai yang dangkal. Kami menangkapnya dengan tangan. Istilah orang kampung saya, "ngomal atau ngeremo." Dapat ikan? Dibakar. Dapat burung? Dibakar juga. Makan? Di bawah pohon kelapa, sambil tertawa, bercanda, dan kadang rebutan sambal.

Minum? Tinggal ambil kelapa. Ada aturan adat yang tak pernah ditulis tapi tertanam kuat, boleh ambil kelapa di barisan pertama, asal tidak rakus. Kami anak-anak kecil, tapi tahu malu. Kami tahu batas. Kami minum kelapa sambil merasa seperti bajak laut yang menemukan harta karun.

Habis makan, kami pun mandi laut. Gelombang kami tantang, pasir kami guling, dan langit kami tantang pakai teriakan. Kami tidak takut hitam, karena kami tahu, kulit akan kembali, tapi masa kecil tidak.

Di sanalah, di antara bau asap ikan bakar dan debur ombak, masa kecil saya tersimpan. Tanpa gadget, tanpa sinyal, tapi penuh suara. Suara tawa, suara air, dan suara alam yang tak pernah mati baterai.


Kini, desa itu mungkin sudah berubah. Jalan ke desa saya sudah diaspal, listrik sudah menyala, sinyal Hp pun ada, dan anak-anaknya mungkin sudah mengenal YouTube lebih dulu dari mengenal muara. Tapi biarlah. Sebab masa kecil saya sudah lengkap, dalam bentuk yang tak bisa diulang, tak bisa dibeli, dan tak bisa diunggah ke Instagram.


Kadang, ketika hidup terasa terlalu serius, saya menutup mata, membayangkan diri saya kecil, memegang katapel, berjalan menuju pantai, bersama sahabat-sahabat kecil yang kini entah di mana.


Itulah masa kecil. Masa ketika hujan adalah festival, lumpur adalah arena gladiator, dan liburan adalah perjalanan kaki ke tempat-tempat yang kini mungkin sudah ditimbun peradaban dan beton.

Saya, anak desa itu, masih percaya, kebahagiaan tak selalu butuh WiFi. Kadang cukup burung liar, muara buntu, dan tawa yang jujur.

Itulah libur sekolah di masa kecil kami, bukan tentang ke mana, tapi bersama siapa dan bagaimana kami bahagia hanya dengan burung, ikan, dan kelapa.

Yok, kita mengenang masa kecil dulu sambil menikmati secangkir kopi pahit tanpa gula. Apalagi Pontianak sedang hujan. Hujannya awer lagi.

Publisher : Timtas M-86/#camanewak

Type and hit Enter to search

Close