Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Narasi ini bukan untuk menakuti, melainkan sebagai pengingat saja. Tentu agar lebih hati-hati dan waspada agar pelaksanaan ibadah haji 2025 berjalan lancar dan aman. Inilah peristiwa berdarah dalam pelaksanaan haji yang sulit dilupakan. Siapkan kopinya, wak! Agar saat membaca tetap tenang dan adem.
Biasa disebut dengan peristiwa terowongan Mina. Saat itu, langit Mekkah tak pernah terlihat semuram pagi itu. Tanggal 2 Juli 1990, saat jutaan manusia bersiap menjalani hari suci melempar jumrah, bumi justru menyambut mereka dengan peluh, jerit, dan kematian. Di Terowongan al-Muaisim, Mina, tempat yang konon menjadi jalur menuju pengampunan, ribuan nyawa melayang. Sekitar 50.000 jamaah berdesakan menuju Jamarat, padahal terowongan itu hanya sanggup menampung 26.000 orang. Takdir yang semula dicari dengan khusyuk, mendadak hadir dalam wujud teriakan, tubuh-tubuh tumbang, dan napas yang terhenti perlahan di udara berdebu.
Tak ada yang pernah benar-benar siap mati. Apalagi dalam keadaan diinjak-injak, tanpa doa, tanpa selimut, tanpa keluarga. Ventilasi udara mati. Panas menyesak, hingga mencapai 44,44°C. Di dalam lorong besi panjang itu, oksigen menjadi rebutan. Sebagian mulai sesak, jatuh, lalu terinjak. Tujuh jamaah terjatuh dari jembatan di mulut terowongan. Kepanikan pecah. Teriakan menggema seperti gema kiamat kecil. Ribuan jamaah yang masih hidup terdorong secara liar, mencoba melarikan diri dari tempat yang justru telah terkunci dari segala arah. Tubuh-tubuh mulai menumpuk, nafas terakhir keluar tanpa saksi, hanya disaksikan dinding terowongan yang dingin dan bisu.
Tragedi itu menewaskan 1.426 jiwa. Sebagian besar dari mereka tak pernah dikenal namanya. Mereka hilang dalam laporan angka, terkubur dalam daftar panjang korban yang dibacakan dengan suara datar. Dari jumlah itu, Indonesia mencatat duka paling kelam. Majalah Tempo menulis 631 jamaah Indonesia gugur. Harian Kompas menyebut 649. Intisari menyebut 562. Angka bisa berbeda, tapi rasa duka tetap sama. Bagi keluarga yang menunggu kabar di rumah, tak penting angka pastinya, karena satu nyawa saja sudah cukup membuat dunia runtuh.
Pemerintah Arab Saudi saat itu memilih diam. Tak ada pernyataan resmi hingga 36 jam kemudian. Pangeran Nayef, Menteri Dalam Negeri, baru muncul untuk membacakan data, bukan permintaan maaf. Tragedi itu dianggap kesalahan teknis. Seolah nyawa manusia bisa ditebus dengan satu konferensi pers. Tak ada tugu peringatan. Tak ada rekonsiliasi. Hanya diam yang menjalar, seperti udara pengap di dalam terowongan yang sama.
Indonesia pun berkabung. Pada 6 Juli 1990, bendera diturunkan setengah tiang. Tapi siapa yang benar-benar tahu rasa kehilangan keluarga korban? Siapa yang bisa menggambarkan sunyi di kampung-kampung yang kehilangan ayah, ibu, kakek, atau anaknya, yang pergi haji dengan harap pulang membawa doa, tapi justru pulang sebagai nama di surat kabar?
Kini, puluhan tahun telah berlalu. Jamaah terus berdatangan setiap musim haji, dan Mina tetap menjadi saksi bisu. Dunia bergerak, sistem diperbaiki, teknologi ditambah. Tapi ingatan tak bisa dibungkam. Mereka yang gugur tak hanya kehilangan hidup, mereka kehilangan kemuliaan yang seharusnya didapat saat wafat dalam ibadah. Mereka tidak wafat dalam damai. Mereka meregang nyawa di tengah teriakan, dorongan, dan ketakutan.
Tragedi Terowongan Mina 1990 bukan sekadar insiden. Ia adalah babak kelam dalam sejarah spiritual umat Islam. Ia bukan takdir semata, tapi juga kelalaian. Selama kita memilih melupakannya, tragedi itu akan terus mengintai, mengintip dari balik dinding-dinding terowongan yang mungkin suatu hari akan kembali menganga, menelan nyawa-nyawa yang hanya ingin mendekat kepada Tuhan.
Hari ini, saat jutaan jamaah kembali berdatangan ke Mina, kita mesti berhenti sejenak. Diam dan mengenang. Bukan dengan air mata, tapi dengan kesadaran, bahwa ibadah suci pun bisa menjadi ladang kematian, jika sistem abai, dan kuasa lebih mementingkan citra dari nyawa.
Selamat jalan, para syuhada Mina.
Kalian tidak mati.
Kalian hanya lebih dulu sampai.
Sementara kami, masih berdesakan…
…dalam kemunafikan dunia.
Yang punya kenangan dengan peristiwa itu silakan komen di bawah.
Publisher : Timtas M-86 #camanewak
Social Footer