Breaking News

Menguak Fakta, Kadis PUPR Selalu Tersangka, Sementara Kepala Daerah Selalu Tertawa


Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

POTIANAK // Monitor86.com

Kadang kasihan dengan pejabat birokrat. Ia meniti karier dari bawah, lalu jadi kepala dinas. Endingnya, masuk penjara. Selalu jadi tersangka korupsi, sementara sang bigbos, selalu lolos sambil tertawa. Mari kita ungkap fakta ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di negeri tropis yang panasnya bisa melelehkan niat baik, ada satu pertanyaan metafisik yang selalu gagal dijawab oleh kitab-kitab hukum dan undang-undang suci negara, mengapa Kepala Dinas PUPR selalu tersangka, sementara kepala daerah tetap seperti pahlawan Marvel, tak tersentuh, tak ternoda, dan selalu punya pencitraan berkedip?

Mari kita gali lubang got filsafat hukum, lengkap dengan aroma satire dan kompos realitas birokrasi. Karena sesungguhnya, di balik jalan berlubang ada lubang hukum yang lebih dalam.

Dinas PUPR bukan sekadar institusi. Ia adalah tempat ziarah para kontraktor, altar suci tempat anggaran ratusan miliar bersujud, dan kuil kompromi antara “aspal hotmix” dan “mark up kosmik.” Di sinilah Kepala Dinas duduk seperti wasit pertandingan tinju, sambil menerima proposal, tekanan politik, serta bisikan ghaib dari berbagai dimensi kekuasaan.

Tugas Kadis PUPR itu berat, lae. Ia bukan hanya harus membangun jalan, tapi juga menyambung urat malu berbagai pihak yang merasa berjasa dalam kariernya. Wajar kalau ada satu dua proyek mengalir ke kantong tak kasat mata. Lah, wong sistemnya begitu. Ganti kepala pun, kalau mesinnya bobrok, hasilnya ya tetap bau knalpot.

Di dalam struktur birokrasi yang lebih rumit dari algoritma TikTok, Kadis PUPR adalah tameng hidup. Ia disumpah bukan hanya untuk setia pada rakyat, tapi juga pada “sinyaal-sinyyaal” politik dari arah kantor bupati atau gubernur. Kepala daerah cukup duduk manis, pakai batik, tersenyum di kamera, lalu bilang, “Saya tidak tahu-menahu.”

Perintah lisan? Sudah seperti bisikan iblis. Tidak bisa direkam, tapi menghancurkan. Kepala daerah mahir memainkan politik Shakespeare, berperan sebagai korban kebodohan bawahannya sambil tetap berdiri di atas podium peresmian proyek yang disunat dana fisiknya.

Inspektorat? Sejenis CCTV yang hanya nyala saat listrik hidup dan pejabat sedang di luar kota. Kalau pun bekerja, seringnya justru jadi pemandu wisata gratifikasi, bukan pemberantasnya. Maka wajar, jika pengawasan hanya jadi formalitas, audit hanya basa-basi, dan laporan hanya jadi hiasan di rak yang berdebu.

Sementara itu, Kadis PUPR diseret keluar kantor seperti tersangka reality show. Wartawan berteriak, kamera merekam, publik mengecam. Tapi entah kenapa, tidak ada yang bertanya, siapa yang menyuruh dia begitu? Karena semua sibuk menonton, bukan menyelidiki.

Lho, masa iya kadis tiba-tiba berubah jadi kleptokrat hanya karena bangun tidur? Tentu tidak. Ada semacam filsafat gelap yang menyusup sejak awal jabatan, "Balas budi dulu, idealisme nanti." Maka jadilah masa jabatan sebagai momen sacred untuk memperkaya diri, mumpung bintang masih terang dan OTT belum mampir.

Kepala daerah, seperti pemilik franchise politik, cukup menunggu di menara gading. Jika kadis terseret kasus, tinggal bilang, “Saya prihatin dan mendukung proses hukum.” Elegan. Penuh moral. Seperti malaikat yang lupa dia pernah menandatangani rekomendasi jabatan si tersangka.

Juni 2025. Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting, ditangkap KPK. Proyek Rp150 miliar, uang suap Rp2 miliar, dan empat pejabat lain ikut terseret. Namun seperti biasa, awan putih tetap bersih di atas langit kekuasaan. Gubernurnya? Aman. Seperti rumput yang tak bergoyang di bawah badai OTT.

Ada dugaan, ada bisik-bisik, ada "aroma keterlibatan." Tapi hukum bukan parfum, wak. Ia butuh bukti, bukan bau. Maka kasus pun berjalan seperti biasa, kadis masuk penjara, kepala daerah naik panggung penghargaan.

Apa yang bisa kita simpulkan dari absurditas ini?

Barangkali, dalam filsafat hukum Indonesia, yang salah bukan hanya orangnya, tapi juga desain sistemnya. Dalam sistem yang menjadikan loyalitas politik lebih penting dari integritas teknis, maka hukum akan selalu tertinggal seperti jalanan rusak yang diperbaiki saat musim hujan.

Kadis PUPR? Ia adalah korban sistem, sekaligus pelaku. Seperti buruh tambang yang menggali emas dan menemukan jebakan.

Di negeri ini, kursi kepala daerah lebih suci dari air zam-zam. Tapi jabatan Kadis PUPR, itu mirip kompor gas di dapur orang pacaran, gampang meledak kalau ditekan terus.

Maka berhati-hatilah, wahai para Kadis. Jabatanmu adalah jalan tol menuju Lapas Sukamiskin. Sementara kepala daerahmu tetap berkampanye, mengutip ayat suci sambil melambaikan tangan ke langit.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close