Breaking News

Pancasila dan Korupsi di Lembaga Pendidikan

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Pancasila, saya yakin kalian pasti hafal. Wajar hafal, karena dari SD kita sudah dipaksa hafal kata demi kata teks Pancasila. Kadang ditakuti, tak hafal Pancasila, tak naik kelas. Pancasila juga sangat sakti, sehingga belum ada ideologi mampu menggusur dari puncaknya. Untuk kali ini, kita bahas Pancasila sambil seruput kopi di Asiang Jalan Ayani Pontianak.

Hari ini, 1 Juni, adalah hari lahir Pancasila. Sebuah momen sakral ketika seluruh negeri bersatu padu, setidaknya di atas kertas, untuk memperingati kelahiran ideologi luhur, penuh nilai, dan sangat cocok dijadikan kutipan di slide PowerPoint atau spanduk acara dinas. Di sekolah, dari SD sampai kampus, Pancasila diajarkan dengan tekun, hafalannya dijadikan ujian, dan bahkan kadang jadi lomba cerdas cermat. Anak-anak bangsa dibentuk menjadi insan Pancasilais sejati, yang konon katanya tidak mungkin korupsi. Sayangnya, kenyataan ternyata bukan modul PPKn.

Di luar sana, korupsi sudah jadi semacam cabang olahraga nasional. Dari menteri, gubernur, bupati, pejabat eseolon, pejabat BUMN, kepala dinas, sampai kepala desa dan pengusaha, pernah dijebloskan ke penjara. Yang belum pernah, presiden dan wakil presiden saja. Lebih parah lagi, di lembaga pendidikan pun tak mau kalah soal merampok uang rakyat.

Lihat saja kasus pengadaan laptop Chromebook senilai hampir Rp10 triliun. Program digitalisasi pendidikan yang awalnya ingin memajukan teknologi anak bangsa, malah maju ke arah Kejaksaan Agung. Katanya, laptopnya cocok kalau internetnya stabil. Masalahnya, yang stabil di negeri ini cuma harga gorengan, bukan koneksi internet. Dari usulan Windows berubah jadi Chromebook, disertai dugaan pemufakatan jahat yang aroma bumbunya lebih kental dari rendang padang. Bahkan, Mas Menteri zaman itu, Nadiem Makarim, disebut-sebut bakal dipanggil. Duh, dari ruang rapat ke ruang penyidikan, tinggal ganti background Zoom saja.

Belum selesai tepuk tangan untuk keanehan itu, muncul lagi kasus STIA Bagasasi Bandung. Dana Program Indonesia Pintar, yang mestinya langsung jatuh ke tangan mahasiswa, malah nyasar dulu ke rekening ayah-anak pejabat kampus. MYA dan MFA, duo koruptor keluarga yang begitu harmonis dalam membangun masa depan, diri mereka sendiri. Mahasiswa bukannya terbantu, malah tetap bayar uang bangunan, seminar, dan segala rupa pungutan. Total kerugian negara mencapai Rp20,7 miliar. Tapi tentu saja, itu semua atas nama operasional kampus. Kalau dikritik? Pasti jawabannya, "Untuk kelangsungan mutu pendidikan." Entah mutu yang mana, mungkin mutu sinetron.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang suci tempat karakter dibentuk dan nilai ditanamkan. Tapi di Indonesia, kadang justru jadi laboratorium eksperimen korupsi, gratifikasi, dan nepotisme. Praktik menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Bahkan plagiarisme oleh dosen atau guru masih merajalela. Kadang rasanya tesis bukan hasil riset, tapi hasil comot sana-sini yang dirapikan oleh jasa pengetikan kilat. Sungguh luar biasa: manusia Pancasilais dibentuk dari rangkaian copy-paste dan pungli berkedok administrasi.

Pancasila, dalam dunia filsafat pendidikan, mestinya menjadi fondasi moral. Tapi kini, ia tak lebih dari latar belakang dekoratif saat wisuda dan apel pagi. Lima silanya dikunyah-kunyah tiap minggu oleh siswa, tapi dimuntahkan secara kolektif oleh para elit pendidikan ketika melihat angka anggaran. Ketuhanan digantikan ketamakan, kemanusiaan disubstitusi dengan manipulasi, persatuan dibayar lewat nepotisme, kerakyatan disabotase birokrasi, dan keadilan sosial hanya berlaku di status Facebook.

Selamat ulang tahun, Pancasila. Semoga engkau tidak lelah menjadi wallpaper nasional di tengah bangsa yang masih berdebat soal siapa yang lebih dulu korup, guru atau murid.

Teringat pada ungkapan, negeri ini tidak kekurangan orang pintar, bertitel panjang. Namun, negeri ini selalu kekurangan orang jujur. Untuk guru dan dosen, teruslah mengajarkan Pancasila walau harus menahan malu di tengah korupsi merajalela. Jangan berhenti juga mengajarkan kejujuran juga. Paling tidak dimulai dari diri sendiri. 

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close