Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Moniror86.com
Hari itu, langit di Cianjur tak menangis, tapi bumi berguncang oleh tangisan manusia. Angin berjalan tertatih di atas aspal yang basah bukan karena hujan, melainkan karena darah dan duka. Desa Mekarsari terbangun bukan oleh ayam jantan, melainkan oleh kabar kematian yang lebih menusuk dari sembilu.
Lia Patmawati, bidan muda berusia tiga puluh tahun, istri dari Kepala Desa Teguh Ferdieta, ibu dari dua anak laki-laki yang masih belajar mengeja dunia, telah tiada. Mobil putih yang ia kemudikan, membawa suami dan dua anaknya, menghantam pohon besar di Kampung Bipak. Tak ada yang sempat berkata “maaf.” Tak ada yang sempat memeluk untuk terakhir kalinya.
Teguh Ferdieta, pria baik hati yang selalu turun langsung menyiram sawah warga, yang setiap malam meronda dan pagi-pagi memeluk anaknya sambil mencium kening istrinya, tewas seketika. Tubuhnya terjepit setir. Matanya tak sempat memejam. Mungkin ia sempat melihat istrinya di kursi kemudi, kepalanya terkulai, darah merembes dari pelipis, dan tangan mungil Ziozian Perdita yang tergolek tak bernyawa di bangku belakang. Usianya baru tiga tahun. Ia belum tahu dunia ini kejam.
Lia masih bernapas saat warga mengevakuasi. Tapi napasnya pendek-pendek. Di Puskesmas Argabinta, tempat ia dulu menolong puluhan kelahiran, tempat ia tertawa dengan rekan kerja, tempat ia pernah menangis setelah ditampar pasien yang marah, di situlah ia mengembuskan napas terakhir. Ironis. Rumah penyelamatannya menjadi peraduan terakhirnya.
Alsip, delapan tahun. Ia selamat. Tapi di dalam matanya, tampak kehancuran yang tak bisa diperban. Di RSUD Sayang Cianjur, ia menatap kosong ke langit-langit ruangan. Dokter berkata tubuhnya akan pulih. Tapi siapa yang menyembuhkan luka anak kecil yang semalaman memeluk adiknya yang sudah dingin?
Di media sosial, video terakhir Lia diputar berulang-ulang. Dalam balutan seragam bidan, ia tersenyum di pinggir pantai. “Istirahat sebentar, ya,” tulisnya. Siapa yang tahu, itu adalah istirahat abadi. Komentar masuk tak henti-henti, doa, tangisan, kemarahan pada takdir. Tapi akun itu kini sunyi. Hanya kenangan yang terus mengetuk-ngetuk layar ponsel mereka yang ditinggalkan.
Rumah duka dibanjiri orang. Di depan tiga peti jenazah yang berjajar seperti deret luka, tangis tak bisa dibendung. Seorang nenek tua meraung, “Kenapa cucuku, kenapa istrinya, kenapa semuanya… Tuhan, ini bukan adil, ini penyiksaan…”
Tiga pusara digali di samping kebun belakang rumah, di bawah pohon mangga yang dulu sering mereka panjat bersama. Di sana, Lia, Teguh, dan Zio tidur bertiga. Tanpa mimpi. Tanpa doa yang bisa membangunkan.
Malam di Mekarsari lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara motor Teguh yang biasa lewat pukul sembilan. Tak ada senyum Lia di puskesmas. Tak ada Zio yang merengek minta es krim. Alsip… ia masih di rumah sakit, menggenggam foto keluarganya, dan bertanya pada perawat dengan suara yang hampir tak terdengar, “Bu… kalau orang meninggal... masih bisa lihat kita, nggak?”
Tak ada yang menjawab. Karena malam itu, semua terlalu sibuk menangis.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer