Breaking News

Aksi Bripka Cecep Menyelamatkan Bayi Malah Nyawa Sendiri Melayang

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor85.com

Masih lanjutan tragedi makan gratis di acara pernikahan anak pesohor di Garut. Sampai detik ini belum ada pihak dinyatakan bertanggung jawab menjadi tersangka. Sambil menunggu kabar itu, mari kita ungkap aksi Bripka Cecep yang berusaha menyelamatkan bayi malah nyawanya sendiri melayang. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!

Jumat, 18 Juli 2025, sore itu seharusnya menjadi hari bahagia, pesta rakyat, makan gratis, pesta pernikahan megah ala kolaborasi dinasti, Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, menikahi Putri Karlina, Wakil Bupati Garut. Namun, alun-alun barat Pendopo Garut tidak tahu bahwa hari itu akan berubah menjadi medan yang lebih bising dari perang. Rasa lapar bersaing dengan jeritan rakyat yang berdesak-desakan demi sepotong ayam bakar dan sepiring nasi. Tidak ada yang mengira bahwa tragedi akan datang, dan akan menelan nyawa, bukan dari pihak penyelenggara, tapi dari seorang abdi negara yang diam-diam menjaga dari tepi.

Namanya Bripka Cecep Saeful Bahri. Lahir di Majalengka, 10 November 1986. Umurnya 39 tahun, menjelang 40. Seorang suami dari Viee Novianti, ayah dari tiga anak, dua lelaki, satu perempuan. Seorang Bhabinkamtibmas di Polsek wilayah Polres Garut. Seorang yang dikenal ramah, bersahaja, rendah hati, aktif di masyarakat. Ia bukan bintang, bukan jenderal, tapi ia hadir dalam sunyi, membantu warga, ikut gotong royong, menjadi penyambung suara rakyat kecil yang sering dibisukan mikrofon elite.

Hari itu, Cecep sedang bertugas. Bukan untuk makan gratis. Bukan untuk menyambut pejabat. Tapi untuk memastikan tak ada yang celaka. Ia berdiri di barikade barat alun-alun, melihat dari jauh bagaimana massa mulai gelisah. Musik dangdut masih menghibur, MC masih berseru, "Ayo, ambil makanan! Gratis untuk semua!"tapi Cecep sudah membaca gejalanya. Benar saja. Gelombang manusia mendesak, merangsek, mendorong. Seorang anak kecil, Vania Aprilia, 8 tahun, jatuh. Tertindih. Hampir hilang.

Cecep melihatnya. Ia berlari. Ia menyusup ke tengah kerumunan. Tak ada yang tahu, tapi ibunya, Nurbaiti, mengerti. “Mungkin almarhum ingat anaknya yang perempuan, jadi langsung menolong,” katanya. Di tengah kekacauan, Cecep memeluk tubuh kecil itu, berusaha menariknya keluar dari pusaran manusia lapar. Ia berhasil. Tapi ia tak sempat kembali. Tubuhnya didorong. Ia jatuh. Ia terinjak. Ia kehilangan napas. Ia tidak sempat memanggil bantuan. Ia pingsan. Dunia tidak berhenti, kerumunan terus berlalu seperti ombak di atas batu nisan.

Ketika tubuhnya tiba di rumah duka di Guntur Residence, Sukamentri, Sabtu 19 Juli, luka-luka memar masih terlihat. Pundaknya lebam. Dadanya membiru. Ia tidak wafat karena bom, tidak tertembak dalam baku tembak, tidak juga karena virus. Ia gugur karena kemanusiaan. Karena rasa tanggung jawab. Karena cinta pada anak-anak, pada rakyat kecil, pada tugas yang lebih dari sekadar gaji.

Bripka Cecep memiliki riwayat jantung dan kolesterol tinggi. Tapi ia tetap menjaga tubuh. Ia puasa Senin-Kamis. Ia rutin jogging. Ia bukan polisi yang duduk di balik meja. Ia turun langsung, menyapa, menyambung nyawa. Dan ironisnya, nyawa itu kini hilang, dalam sebuah pesta yang katanya untuk rakyat, tapi gagal memahami betapa berbahayanya lapar dan kerumunan tanpa kendali.

Tiga nyawa melayang hari itu: Vania Aprilia (8 tahun), Dewi Jubaedah (61 tahun), dan Bripka Cecep sendiri. Dua rakyat kecil, satu pelindung rakyat kecil. Ironisnya, yang punya hajat tetap bersulang. Tapi di antara teriakan sumbang, nama Cecep kini berdiri sunyi… dan mulia.

Ia bukan polisi biasa. Ia bukan korban biasa. Ia adalah pahlawan. Ia gugur berdiri. Dari tanah Garut yang merah, kita belajar, dalam pesta yang kacau, terkadang hanya satu orang yang benar-benar waras, dan ia... telah gugur.

Foto Ai, hanya ilustrasi.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close