Breaking News

Belajar Hidup dari MAUNG (Harimau)

Oleh & Rohadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Ini bukan tentang Harimau Malaya. Ini tentang maung atau harimau benaran. Hewan yang hampir punah. Kali ini saya mau ngulik si loreng. Bahas tentang manusia, biasa! Sekali-kali tentang binatang berkaki empat, bukan kaki dua. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!

Setiap 29 Juli, manusia sedunia mendadak cinta harimau. Mereka berswafoto di depan poster loreng, mengunggah kalimat manis seperti, “Selamat Hari Harimau Sedunia,” lalu... lanjut membuka lahan. Tahun ini temanya begitu adiluhung: “Hidup Berdampingan Secara Harmonis antara Manusia dan Harimau.” Ah, harmoni. Seperti kodok dan blender. Sungguh menyentuh hati. Harimau pasti terharu, lalu terkapar di pinggir hutan.

Mari kita bicara data. Di Indonesia, sang harimau sumatra, satu-satunya subspesies harimau yang tersisa, tinggal sekitar 603 ekor. Angka ini lebih sedikit dari jumlah reseller skincare per kelurahan. Mereka tersebar di 23 kantong habitat di Sumatra. Statusnya? Critically Endangered, alias tinggal satu tarikan napas dari status “selamat tinggal.”

Dua saudara kandungnya, harimau jawa dan harimau bali, telah kita antar ke liang sejarah. Tanpa upacara. Tanpa spanduk. Cukup dengan perambahan hutan dan peluru murah. Kita manusia memang mahir mencintai sesuatu setelah mereka tiada.

Sekarang, mari kita tengok negara-negara lain. India, sang mega-bintang konservasi, saat ini memelihara ±3.682 harimau di alam liar, sekitar 75% populasi dunia. Mereka tidak hanya membuat suaka margasatwa, tapi juga mempersenjatai polisi hutannya. Bahkan harimau di sana bisa punya nama panggilan dan penggemar. India tidak menyelamatkan harimau dengan kata-kata, tapi dengan kebijakan nyata.

Lalu ada Rusia, tempat ±750 harimau Siberia mengarungi salju dengan gagah. Sementara Nepal punya ±355 ekor harimau Bengal yang hidup berdampingan dengan penduduk desa yang justru melindunginya. Bhutan? Negara mungil ini menjaga ±131 ekor harimau, karena di sana harimau dianggap jelmaan dewa, bukan calon sepatu kulit.

Bangladesh masih punya 89–146 ekor harimau Bengal yang tersisa di delta Sundarbans. Malaysia, ya, tetangga sebelah, memelihara harimau Malaya, walau angkanya terus menurun seperti grafik saham habis kena rumor. Bahkan China punya ±60 ekor harimau Cina Selatan, saking langkanya, lebih susah ditemukan dari sinyal 5G di desa. Myanmar? Masih ada ±22 harimau Indocina yang selamat dari kudeta dan kerusakan habitat.

Kita? Ya, masih bangga menyebut harimau sumatra sebagai “warisan budaya,” tapi membiarkan habitatnya diserahkan ke pabrik sawit dan tambang nikel.

Kalimantan? Ah, tanah Borneo, surga tropis yang tanpa harimau. Secara ekologis, tak cocok katanya. Terlalu lembap, terlalu basah, terlalu penuh macan dahan. Bahkan di zaman Pleistosen, harimau sempat coba-coba masuk Kalimantan, tapi tampaknya mereka menyerah sebelum manusia sempat mengusir.

Beberapa suku Dayak masih menyimpan taring harimau sebagai pusaka. Namun ada kemungkinan besar, itu taring macan dahan. Atau taring kesedihan kolektif karena harimau hanya tinggal dalam legenda.

Tapi tenang. Kita masih bisa menyelamatkan gambar harimau. Kita jago bikin mural, patung, kaos, bahkan stiker WhatsApp. Kalau pun harimaunya punah, kita masih punya kenangan digital. Bukankah itu yang penting di zaman ini?

Selamat Hari Harimau Sedunia. Semoga tahun depan kita masih merayakan bersama loreng yang hidup, bukan hanya siluetnya di logo LSM.

Harimau tak pernah teriak di hutan lebat,

Langkahnya sunyi, tapi dunia tunduk hebat.

Tak butuh panggung, tak haus tepuk tangan,

Cukup cakar dan kehormatan yang dijaga tanpa beban.

Ia hidup bukan untuk menguasai tanah,

Tapi menjaga batas, tahu kapan diam dan marah.

Belajarlah, wahai manusia pencinta pangkat,

Bahwa kekuasaan sejati adalah tenang saat kuat.

Harimau tak pernah menebar janji di udara,

Ia menepati hidupnya tanpa drama dan kata-kata.

Tak menyalahkan ranting, tak menyumpahi badai,

Ia berjalan meski hutan makin tergerai.

Dari lorengnya kita belajar harmoni,

Antara kekuatan dan sunyi, antara marah dan kendali.

Kalau manusia mau sebijak si loreng itu,

Mungkin bumi tak sesesak, dan hutan tak semenderu.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close