Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Pontianak // Monitor86.com
Pag ini (14/7/2025), seluruh sekolah memulai tahun ajaran baru. Orang tua akan mengantar anaknya ke sekolah. Pemerintah menyarankan, ayah yang biasa bekerja untuk mengantarkan sendiri anaknya. Tak sekadar saran, malah dibuat surat ederan segala. Lantas, bagaimana bila si anak tak punya ayah? Inilah yang mau saya kupas, wak! Simak narasinya dengan seruput kopi tanpa gula.
Pagi itu, Indonesia terbangun bukan karena ayam berkokok, tapi karena sebuah surat edaran yang menghunjam dada lebih tajam dari tagihan listrik di akhir bulan. Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 dari BKKBN, tentang “Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah.” Sebuah program nasional yang konon katanya bertujuan mulia, mendekatkan ayah dan anak, mengukir momen sakral, dan menabur bunga-bunga kasih sayang di gerbang sekolah. Sayangnya, tidak semua anak punya ayah. Tidak semua bunga bisa tumbuh di tanah luka.
Seorang ibu curhat ke saya. Ibu itu membaca surat edaran itu sambil menggenggam dua tangan mungil anaknya. Yang satu baru masuk TK, yang satu baru akan duduk di bangku SD. Matanya bergetar. Bukan karena bahagia, tapi karena hatinya remuk, dihantam kenyataan bahwa ia harus memilih, membiarkan anaknya berangkat sekolah menyaksikan parade kebapakan nasional, atau melindungi mereka dari luka batin yang lebih tajam dari sembilu.
Bayangkan, wak! Nuan berdiri di gerbang sekolah. Di sekelilingmu, anak-anak lain melompat riang digandeng ayah mereka. Ada yang naik motor matic, ada yang datang dengan mobil dinas, bahkan ada yang diantar ayahnya yang mengenakan jas dan dasi, seperti sedang siap rapat akbar dengan Presiden. Lalu sampeyan? Berdiri sendiri. Menatap kosong. Mencari-cari sosok yang tak akan pernah datang. Sebab ayahmu… sudah lebih dulu pulang ke langit. Semenara negara tidak menyediakan pengganti.
Betapa kerasnya dunia ini, ketika cinta harus dibuktikan dengan kehadiran orang yang sudah tiada. Betapa ajaibnya negeri ini, bisa membuat cinta terasa menyakitkan hanya dengan satu edaran. Yang lebih ajaib lagi, tak ada opsi “tidak punya ayah” dalam formulir kebijakan. Semua anak diasumsikan lengkap. Seperti nasi kotak program dinas, wajib ada lauk, sayur, dan buah. Kalau cuma nasi dan kuah air mata, tidak sah.
Ini bukan sekadar program. Ini pertunjukan nasional. Sebuah festival kasih sayang versi eksklusif, hanya untuk mereka yang beruntung terlahir dari keluarga utuh. Anak-anak yatim? Piatu? Broken home? Maaf, kalian tidak masuk daftar tamu undangan. Silakan berdiri di pinggir lapangan, dan tontonlah dari jauh. Jangan menangis, karena itu bisa mencoreng citra kebijakan negara.
Mari kita rayakan absurditas ini dengan meriah. Ajak semua ayah turun ke sekolah! Biarkan anak-anak yang tidak punya ayah tahu bahwa mereka berbeda! Ayo, jadikan hari pertama sekolah sebagai ajang seleksi sosial! Siapa punya ayah dan siapa tidak! Siapa berhak bahagia dan siapa harus menunduk dalam sunyi!
Tapi tenang, kita masih punya harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, kebijakan tak lagi lahir dari meja-meja dingin, tapi dari hati-hati yang pernah patah. Dari pelukan ibu yang menggantikan seribu peran. Dari air mata anak-anak yang dipaksa dewasa oleh sistem yang lupa, tidak semua kasih sayang harus punya jenggot dan pakai kemeja batik.
Menjadi ayah bukan sekadar status biologis, tapi kehadiran emosional yang penuh kasih. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkannya. Maka biarlah sekolah menjadi ruang aman, bukan etalase ketimpangan kasih sayang. Karena di hari pertama sekolah, yang paling dibutuhkan bukanlah ayah. Tapi pelukan, dari siapa pun yang ada dan mau memeluk.
Buat ente, para ibu hebat, para nenek kuat, para janda tangguh, para anak yang kehilangan tapi masih berjalan dengan kepala tegak, kalian luar biasa. Dunia tak layak menilai kalian hanya karena tidak membawa ayah ke sekolah.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer