Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Setelah mengikuti sidang menguras emosi, akhirnya hakim menjatuhkan vonis. Hasto terbukti nyogok atau nyuap dan ia pun dijatuhi vonis penjara 3,6 tahun. Lebih jelasnya simak narasinya sambil seruput kopi liberika, wak.
Hari itu, langit Jakarta mendung. Awan-awan menggantung seperti rasa percaya rakyat terhadap hukum yang sudah lama disembelih di altar kekuasaan. Di ruang sidang yang dinginnya menyaingi pelukan mantan, terdengarlah vonis yang membuat para dewa hukum menangis di surga, Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta. Subsider? Tentu, 3 bulan kurungan saja, cocok untuk pelesir di hotel prodeo sambil bawa buku filsafat perlawanan.
Hasto, Sekjend PDIP terbukti menyogok eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dengan Rp400 juta demi meloloskan tokoh mitologis bernama Harun Masiku. Ya, Harun Masiku, sang legenda urban, buronan yang lebih licin dari minyak goreng subsidi. Jejaknya lenyap, sinyalnya nihil, dan keberadaannya lebih diragukan ketimbang janji politisi saat debat capres.
Jaksa Penuntut Umum sebenarnya tak main-main. Mereka menuntut 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta dengan tambahan pidana atas tuduhan perintangan penyidikan. Tapi hakim, dengan kebijaksanaan yang entah turun dari langit mana, memutuskan bahwa tidak terbukti ada obstruction of justice. Mengapa? Karena tak ada saksi yang melihat langsung peristiwa “perendaman HP” Harun Masiku. Mungkin kalau Hasto menyewa drone lalu livestream ke TikTok saat dia menenggelamkan ponsel, baru dianggap sah.
Tak ada CCTV, tak ada rekaman, tak ada kucing kampung yang bersuara. Maka hukum pun berkata, “Maaf, bukti tak cukup. Beban pembuktian jatuh ke dimensi yang tak terjangkau logika.” Para pengamat hukum pun angkat tangan, bukan karena tak punya akal, tapi karena akal mereka sudah ditampar oleh kenyataan. Ada yang bilang ini preseden berbahaya, ada yang bilang ini kompromi absurd antara tekanan publik dan ketidakberdayaan jaksa. Ada pula yang hanya bisa tertawa getir sambil ngetik status, “Hukum di negeri ini adalah lelucon termahal abad ini.”
Hasto sendiri, dengan kepala tegak bak pahlawan dari cerita pewayangan KW, menyatakan siap menjalani hukuman. Tak hanya itu, ia bahkan mendaftarkan diri kuliah hukum. Sebuah plot twist yang tidak diminta, seperti film horor yang tiba-tiba jadi drama keluarga. Ia menyebut langkah itu sebagai bentuk “perlawanan intelektual.” Entah perlawanan terhadap siapa, karena nalar publik sudah lama pensiun sejak Harun Masiku hilang dari radar.
PDIP tetap solid. Seperti baja. Seperti tiang bendera yang tak roboh meski rakyatnya gemetar. Tapi semua tahu, soliditas itu rapuh. Aroma kekhawatiran menyebar seperti kabut di malam hari, mengganggu tidur kader yang takut kehilangan suara jelang pemilu. Di sisi lain, KPK menyatakan “menghormati putusan hakim.” Sebuah pernyataan formal yang sebenarnya bisa diterjemahkan bebas sebagai, “Kami juga lelah, bung.”
Di ujung cerita ini, rakyat pun hanya bisa merenung. Mungkin hukum memang tak lagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Mungkin hukum kini berbentuk silet, yang tajam bila dibutuhkan, dan tumpul bila disogok. Dalam hati mereka bertanya, "Berapa harga sebuah keadilan di negeri ini? Apakah cukup dengan Rp400 juta dan ponsel yang tenggelam diam-diam?"
Atau mungkin, seperti Harun Masiku, keadilan pun telah lama hilang. Kita semua hanya sedang menunggu kabarnya. Tanpa harapan. Tanpa alamat.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer