Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Maaf, wak! Senin, mulai masuk kerja, mestinya ditemani informasinya menyenangkan. Namun, kali ini justru sebaliknya. Intoleransi terjadi lagi. Negeri Pancasila, namun semakin jauh dari maknanya. Mari kita ungkap, “Ada apa dengan negeri ini” sambil seruput kopi tanpa gula.
Di negeri yang katanya penuh senyum ini, bahkan doa bisa dianggap kejahatan. Di tengah keluhuran Pancasila yang digantung indah di ruang kelas SD, ada air mata anak-anak Kristen yang jatuh bercampur darah, bukan karena mereka mencuri atau merusak, tetapi karena mereka beribadah. Ya, berdoa! Membaca kitab suci, menyanyikan pujian, dan mungkin bertanya dalam hati kecil mereka yang polos, "Apakah Tuhan tidak boleh kami panggil di rumah ini?"
Oh Indonesia, engkau terlalu sibuk berslogan “Bhinneka Tunggal Ika” padahal lidahmu justru membakar pelangi yang berbeda.
Minggu sore (27 Juli 2025) yang seharusnya damai di Padang, berubah menjadi mimpi buruk berjudul "kerukunan versi mayoritas". Segerombolan manusia, dengan ekspresi yang entah lebih mirip polisi moral atau penagih karma kolektif, datang membawa teriakan. Bukan salam, bukan dialog. Mereka datang seperti badai. Menghancurkan kaca, memutus listrik, dan melemparkan batu ke arah tempat suci yang hanya berstatus rumah kontrakan. Anak-anak menangis, ibu-ibu menjerit, ayah-ayah hanya bisa berdiri sambil menahan marah yang tak bisa meledak. Sebab, ledakan itu akan disebut provokasi.
Oh Indonesia, di manakah engkau saat iman ditikam dengan batu?
Satu anak berumur delapan tahun kini tahu, bahwa di negeri ini, ibadah bisa membuatmu berdarah. Anak sebelas tahun belajar bahwa ketakutan bukan hanya datang dari hantu atau petir, tetapi dari tetangga yang merasa dirinya paling suci. Di layar ponsel kita, video kekerasan itu berputar seperti sirkus dosa kolektif. Tapi tenang, nanti akan ada klarifikasi, “Itu bukan intoleransi, hanya miskomunikasi.” Ah ya, seperti biasa, intoleransi dibungkus dengan kata kerukunan, lalu dimakamkan dalam birokrasi dan surat edaran.
Padang bukan satu-satunya panggung sandiwara ini. Mari kita jalan-jalan sebentar ke Sukabumi, di mana retreat pelajar Kristen dirusak seperti perkemahan perang. Salib diturunkan, gitar dihancurkan, dan anak-anak diajari bahwa iman mereka lebih baik sembunyi. Polisi datang, tentu saja. Tapi seperti biasa, setelah viral. Seakan hukum hanya hidup di Instagram dan TikTok.
Kemudian, kita mampir ke Kubu Raya. Ada yang ingin membangun gereja Katolik. Tapi Forum RT menolak dengan alasan, “Demi kenyamanan umat mayoritas.” Oh betapa halusnya kalimat itu, sehalus pisau yang menikam dalam diam. Bukankah kenyamanan seharusnya diperjuangkan bersama? Bukan dengan menolak eksistensi orang lain?
Lalu kita menengok ke Gresik, Tangerang, Bandar Lampung, Bogor, dan masih banyak titik di peta Indonesia yang pernah menuliskan tragedi dengan tinta darah dan air mata. Semua punya pola yang sama, jemaat minoritas berdoa, mayoritas resah, izin dipermasalahkan, aparat datang terlambat, dan akhirnya, kita semua pura-pura lupa.
Oh Indonesia, engkau punya hukum, tapi kadang hanya tajam ke minoritas. Engkau punya kitab suci di sekolah, tapi lupa bahwa ajaran-Nya adalah kasih. Engkau punya undang-undang, tapi disembunyikan di balik opini ketua RT. Engkau bangga dengan keragaman, tapi takut melihat simbol yang berbeda.
Apa yang kita wariskan ke generasi selanjutnya? Bahwa doa harus izin ke tetangga? Bahwa iman harus sembunyi di lemari? Bahwa anak-anak harus belajar bahwa "berbeda" itu berbahaya?
Oh Indonesia, negeri yang terlalu cepat tersinggung oleh salib, tapi santai terhadap korupsi. Negeri yang bisa memaafkan maling uang rakyat, tapi tak bisa menerima doa dari rumah kontrakan.
Oh Indonesia, kau sedang sakit. Lukanya adalah intoleransi.
Lukanya adalah diamnya kita semua.
Lukanya adalah ketika rumah ibadah lebih ditakuti dari rumah judi.
Lukanya adalah ketika tetangga lebih percaya rumor dari kasih.
Sementara itu, anak-anak masih bertanya, "Tuhan… kami salah apa?"
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer