Breaking News

Jurus Ngeles Tingkat Dewa Kejaksaan ?

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Awalnya saya tidak ngeh. Kenapa budak sering nge-share video, ada orang ngantar uang ke Kejati Kalbar. Duitnya satu tas lagi. Rumornya untuk nyogok. Namun, oleh kejaksaan, itu barang bukti yang diantarkan. What...! Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak.

Kita mulai ceritanya.  Ketika uang miliaran dibawa masuk ke kantor Kejati Kalbar oleh seorang tersangka korupsi, alam pun menahan napas. Langit Pontianak mendung bukan karena cuaca, tapi karena malu. Seekor burung pipit yang semula hinggap di pagar kejaksaan langsung terbang, takut terseret sebagai barang bukti.

Adalah MO, sang pembawa wahyu, datang bukan dengan kitab suci, tapi dengan tas ransel berisi Rp2,4 miliar. Ia tidak membawa pengacara, tidak membawa jaksa, hanya membawa iman dan harapan bahwa uang tunai adalah medium komunikasi spiritual dengan institusi penegak hukum.

Dalam dunia yang katanya modern dan berbasis sistem elektronik, tiba-tiba muncul kembali tradisi kuno, ritual penyucian uang tunai. Kejaksaan menjelaskan, tentu dengan wibawa dan keteguhan suara, ini bukan suap. Tidak. Sama sekali tidak. Ini adalah barang bukti. Titipan. Amanah. Dikirim dengan cinta, dan dikawal dengan integritas, walau tidak ada dokumentasi pengawalan itu. Seperti kebanyakan kisah kasih yang dirahasiakan, publik diminta untuk "tidak berspekulasi berlebihan."

Ah, hukum. Betapa fleksibel engkau di tangan birokrasi yang sudah mengangkat absurditas menjadi protokol. Filsuf Yunani pun terdiam melihat betapa mudahnya “niat baik” membungkus tindakan yang di negeri lain akan menyalakan sirene skandal. Tapi di sini? Hanya klarifikasi. Satu kalimat resmi bisa mencerahkan ribuan mata yang telah melihat video viral itu. Sebuah seni menjinakkan logika melalui diksi prosedural. 

Tak lama berselang, langit bergemuruh lagi. Kejagung datang ke Pontianak, mengganti pejabat seakan-akan ini adalah pergantian sutradara dalam sinetron panjang berjudul “Menebus Dosa Institusi Tanpa Mengaku Salah.” Pejabat lama diganti tanpa seremoni pengusiran, dan pejabat baru dilantik seperti nabi pengawas dari pusat. Tidak ada tuduhan, hanya rotasi. Tapi aroma kejanggalan begitu kental, sampai tukang pentok yang kebetulan lewat di depan pun bertanya, "Ngape tang ramai lalu di kejaksaan ie. Wartawan pun daan boleh masuk?" dengan logat Sambas. 

Masyarakat, yang sudah terbiasa dengan akrobat hukum yang menyaingi sirkus Roma, hanya bisa tertawa getir. Karena dalam negara hukum ini, kebenaran adalah hal yang paling rawan dimodifikasi. Uang tunai bisa suci bila dijelaskan cukup serius. Video viral bisa menjadi lelucon bila ditanggapi dengan press release. Korupsi? Itu hanya hama ideologis yang belum bisa diberantas, sebab akarnya tertanam dalam curriculum institusi sejak zaman Orde Ritual.

Begitulah, wak! Di republik ini, uang masuk ke kejaksaan bukan lewat transfer bank, tapi lewat drama berjalan kaki yang penuh simbolisme. Sebuah perayaan tahunan untuk memperlihatkan bahwa logika masih kalah oleh tradisi, dan bahwa pengakuan bersih bisa diucapkan tanpa harus menghapus noda sejarah.

Dalam filsafat hukum, ada istilah "due process" proses hukum yang benar dan adil. Tapi kita sekarang hidup dalam "vue process" proses hukum yang harus viral dulu sebelum diakui. Klarifikasi datang bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menenangkan agar kita tidak gaduh, biar uang bisa diserap sistem seperti hujan yang masuk got.

Di antara tawa getir dan rasa ingin muntah itu, tersisa satu pelajaran, di negeri ini, ransel bisa menjadi sakramen. Ia membawa bukan hanya uang, tapi juga simbol relasi antara keadilan dan keputusasaan. Sebab keadilan mungkin tinggal di buku hukum, tapi keputusasaan sudah mengakar di praktiknya.

Lalu, kita para pengopi di Jalan Hijaz? Tetap menonton, tetap skeptis, tetap menyimpan harapan bahwa mungkin suatu hari, tas ransel itu akan berisi transparansi. Bukan rupiah.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close