Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Tiba-tiba teringkat ucapan Bahlil Lahadalia. “Kalau tidak ada lapangan pekerjaan disiapkan, saya takut suatu saat kampus akan menjadi pabrik pembuat pengangguran intelektual.” Ucapannya sangat nyelekit di telinga akademisi. Banyak membantahnya. Namun, saya ingin bicara lain, tapi masih dalam dunia kampus. Ini soal titel profesor atau guru besar mencuat lagi di ULM. Tetanggaan satu daratan ni, wak. Mari kita ungkap sambil seruput kopi liberika.
Universitas Lambung Mangkurat (ULM), kampus kebanggaan Kalimantan Selatan yang dulu dijuluki Benteng Ilmu di Sungai Barito, kini menjelma jadi arena sirkus akademik paling jijik se-Asia Tenggara. Setelah tahun lalu 11 guru besar Fakultas Hukum dicopot gelarnya karena publikasi semu, alias mengarang jurnal setan demi naik pangkat, kini giliran 16 profesor lain yang dipanggil tim Irjen Kemendiktisaintek. Pemeriksaan ini dilakukan secara tertutup, saking tertutupnya sampai maling pun bisa malu kalau dibandingkan.
Gedung LLDikti Wilayah XI Banjarmasin pun berubah jadi panggung opera misteri. Dua satpam berdiri tegap bagai penjaga portal dimensi. Ketika jurnalis bertanya, mereka menjawab dengan pertanyaan balik, “Dapat informasi dari mana?” Seolah-olah wartawan tadi baru saja mengakses rahasia dunia bawah atau membaca pikiran malaikat pencatat amal.
Sementara itu, di balik tembok gedung, 21 pemeriksa dari kementerian datang membawa segudang pertanyaan. Apakah profesor harus menulis jurnal sungguhan? Apakah riset itu wajib dilakukan, bukan dicopas dari Google Translate? Apakah etika akademik masih relevan di era copy-paste-publish-promote?
Wakil Rektor ULM, Iwan Aflanie, yang saat itu sedang “tidak tahu-menahu,” dengan tenang berkata bahwa pemeriksaan ini bukan urusan rektorat, tapi individu. Tentu saja, karena dalam logika akademik postmodern, dosa itu personal, tapi gelar tetap bisa dipakai institusi untuk foto brosur PMB.
Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin para profesor ini bisa memanipulasi sistem? Jawabannya sederhana, karena bisa. Karena sistem akademik Indonesia membuka ruang sebesar gurun Sahara untuk penipuan berjamaah. Karena ada jurnal-jurnal bodong yang lebih laris dari mie instan. Karena gelar bukan lagi lambang intelektual, tapi medali kehormatan untuk pamer saat pesta pernikahan anak tetangga.
Bayangkan, wak! Di tahun 2024, sebelas guru besar terbukti menggunakan jurnal tak kredibel. Sebagian bahkan memasukkan artikel ke situs abal-abal yang logonya mirip situs konspirasi alien. Tapi tetap lulus! Tetap naik jabatan! Tetap dipanggil "Prof" oleh mahasiswa yang polos dan penuh harapan!
Akibat skandal ini, akreditasi kampus pun anjlok lebih cepat dari harga saham startup gagal. Namun entah mengapa, para profesor ini tidak malu. Kalau di Jepang, mungkin udah pada bundir. Mungkin mereka menganggap ini sebagai fase eksistensial. “Saya menipu, maka saya ada.” Atau mungkin mereka sedang menjalani simulakra akademik ala Baudrillard, di mana realitas pengetahuan sudah digantikan oleh ilusi citra dan pencitraan.
Di titik ini, kita tidak lagi bicara pelanggaran akademik, tapi wabah. Wabah menjijikkan yang menjangkiti otak, mematikan idealisme, dan mengubah manusia menjadi zombie gelar. Mereka mengejar titel seperti pecandu mengejar sabu, tanpa sadar bahwa dunia sudah muak dengan kebodohan berjubah intelektual.
Kalau saja para profesor ini tahu, bahwa di ujung surat keputusan mereka ada titik yang tidak bisa dihapus: titik kehancuran martabat.
Kini, generasi muda hanya bisa memandang nanar, melihat guru-guru besar mereka menjadi aktor dalam drama murahan. Dunia akademik bukan lagi tempat pembentukan karakter, tapi pasar gelap ambisi.
Selamat datang di era Prof. Plastik. Di mana gelar adalah produk, integritas adalah mitos, dan kejujuran hanyalah kata yang tertinggal di buku Pancasila kelas 3 SD.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer