Oleh :;Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIAAK // Monitor86.com
Sungguh pilu dan sedih. Gara-gara makan gratis kok sampai nyawa melayang. Inilah duka di acara pernikahan anak Gubernur Jawa Barat, KDM. Mari kita ungkap lebih dalam sambil seruput kopi di Kafe Teduh Jalan Danau Sentarum Pontianak.
Jumat, 18 Juli 2025. Selepas azan Zuhur menggema di langit Garut, ribuan orang melangkah menuju Pendopo Kabupaten. Mereka bukan demonstran. Bukan juga penonton konser. Mereka rakyat biasa, ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak kecil yang mendengar kabar, “Ada makan gratis di pernikahan anak Gubernur!”
Putra Gubernur Jawa Barat, Maula Akbar Mulyadi, mempersunting Wakil Bupati Garut, Putri Karlina. Sebuah pernikahan yang indah, simbol bersatunya dua kekuatan politik lokal, dua nama yang kelak mungkin akan duduk lebih tinggi lagi dalam panggung republik.
Sebagai bentuk syukur, digelar “pesta rakyat” di alun-alun. Makan bersama. Gratis. Terbuka. Sebuah niat baik yang di atas kertas tampak mulia.
Namun, tragedi maut mulai mendekat. Massa sudah berkumpul sejak pagi. Tak ada pagar pembatas. Tak ada jalur evakuasi. Tak ada pengaturan jumlah tamu. Informasi menyebar terlalu luas. Warga dari luar kota pun datang, bahkan ada yang menempuh perjalanan lebih dari 100 kilometer demi sejumput nasi dan lauk istimewa yang katanya disediakan khusus untuk rakyat.
Ketika pintu pendopo dibuka...Semua runtuh. Desakan. Dorongan. Jeritan. Tangisan anak kecil yang terinjak. Tangan-tangan menepis udara, mencari napas, namun oksigen kalah oleh jumlah tubuh yang saling dorong.
Kepanikan bukan datang dari kerusuhan, tapi dari kerumunan yang tak bisa dikendalikan. Satu jatuh. Lainnya ikut roboh. Seperti kartu domino, manusia-menusia tumbang di atas manusia lain.
Tiga nyawa tak kembali:
Vania Aprilia, 8 tahun, warga Sukamentri. Tubuh kecilnya ditemukan di bawah kaki-kaki yang panik. Ia datang bersama neneknya, katanya ingin mencicipi sate gratis. Yang ia dapatkan hanyalah sesak, lalu sunyi.
Dewi Jubaedah, 61 tahun, dari Jakarta Utara. Ia pulang kampung dan dengar ada pesta pejabat. “Sekalian silaturahmi,” katanya sebelum berangkat. Tubuhnya tak kuat. Napasnya habis di tengah arus manusia.
Bripka Cecep Saeful Bahri, 39 tahun, anggota Polres Garut. Ia tak makan. Ia bertugas mengamankan. Ia mengangkat warga yang pingsan, menarik anak kecil ke luar barikade, lalu duduk sebentar, dan tak pernah bangun lagi.
Jenazah mereka dibawa ke RSUD dr. Slamet dan RS Guntur Talun. Polisi masih menyelidiki. Belum ada pernyataan resmi dari pihak keluarga Gubernur ataupun panitia penyelenggara.
Tak ada yang menyalahkan niat. Tapi tragedi ini terlalu mahal untuk disebut sebagai “kekeliruan teknis.” Ini bukan soal nasi gratis. Ini tentang rasa lapar yang selama ini diremehkan, lalu tiba-tiba “dihibur” lewat pesta megah tanpa antisipasi. Ini tentang manusia yang saking lamanya tak diajak duduk semeja, berebutan kursi tanpa tahu bahwa meja itu rapuh.
Garut tidak sedang kelaparan. Tapi Garut terlalu sering dilupakan. Maka ketika diberi sedikit perhatian, seluruh rakyat datang. Mereka tak lapar hanya karena perut kosong. Mereka lapar karena ingin merasa diundang, dianggap, disambut, bukan sekadar penonton.
Tapi hari itu, rakyat datang bukan untuk makan. Mereka datang untuk mengantar tiga nyawa ke keabadian.
Mungkin, di antara doa syukur dan tumpeng pernikahan, ada satu suara lirih yang bertanya, “Kenapa untuk makan, kami harus mati?”
Pesta rakyat seharusnya menjadi ruang bahagia, bukan ruang duka. Tapi ketika ribuan orang berebut makanan di negeri yang katanya makmur, kita harus berani bertanya, siapa sebenarnya lapar, perut rakyat atau empati penguasa? Tiga nyawa melayang bukan karena rakus, tapi karena sistem yang lupa menata, lupa menjaga, dan terlalu sibuk merayakan diri sendiri.
Hanya bisa berdoa, kepada para korban semoga diterima segala amal ibadahnya oleh Allah Swt. Kepada kedua mempelai, semoga samawa dunia akhirat. Jadikan ini sebagai pembelajaran berharga buat yang akan menggelar nikahan.
Foto Ai, bukan kejadian sebenarnya.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer