Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Setelah rumah Ahmad Sahroni jadi panggung gladi resik marah rakyat, dan rumah Eko Patrio berubah jadi workshop gratis “redistribusi barang-barang rumah tangga”, kini giliran rumah Surya Utama alias Uya Kuya di Duren Sawit, Jakarta Timur, yang didaulat menjadi studio utama reality show rakyat berjudul, “Tutorial Merampas Aset Tanpa Perlu RUU.”
Ironis? Justru di sinilah absurditasnya. Selama bertahun-tahun, DPR RI asyik berdebat soal RUU Perampasan Aset, undang-undang yang katanya akan membuat harta hasil korupsi bisa disita dengan cepat. Namun pembahasannya selalu mentok di ruang rapat ber-AC, diselipkan dalam agenda politik, ditunda seakan itu hanya tugas tambahan. Rakyat pun bosan menunggu. Malam 30 Agustus 2025, mereka membuat keputusan radikal, kalau DPR lambat, biar kami sendiri yang sahkan RUU itu, langsung di lapangan, tanpa tanda tangan Ketua Baleg.
Targetnya, rumah anggota DPR yang juga presenter kondang, lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, lahir 4 April 1975, mantan personel Tofu, penyanyi Playboy Insyaf, suami Astrid Khairunisha, ayah dua anak, sekaligus pengusaha kucing miliaran. Dari kacamata rakyat, inilah simbol sempurna, politisi baru dengan panggung glamor. Maka begitu pagar rumah Uya roboh, itulah bunyi ketok palu rakyat. RUU Perampasan Aset versi jalanan resmi disahkan.
Uya Kuya sebenarnya sudah coba “lobi politik” ke publik dengan video permintaan maaf di Instagram, 30 Agustus 2025 pukul 23:50 WIB. Dalam bahasa televisinya, itu semacam iklan layanan masyarakat, “Tak ada sedikit pun niat buat gaduh.” Tapi massa sudah berubah channel. Mereka tak lagi peduli dengan sinetron permintaan maaf, mereka ingin live action, mereka ingin “tutorial.”
Tutorial itu berlangsung dramatis, barang-barang berharga hilang, hingga koleksi kucing eksotis bernilai miliaran rupiah raib. Ada meja, kursi, bahkan sapu lidi katanya ikut dibawa. Apakah rakyat butuh sapu untuk membersihkan DPR? Atau kursi untuk mengganti kursi empuk Senayan? Tak ada yang tahu. Tapi satu hal pasti, rakyat sedang belajar cepat bahwa teori keadilan sosial bisa dipraktikkan tanpa perlu sidang paripurna.
Di sinilah letak satire paling getir. RUU Perampasan Aset belum sah? Rakyat sudah mendahului. Hukum negara lambat, hukum jalanan kilat. DPR gagal mengesahkan aturan? Rakyat bikin tutorial manual, “Begini caranya, tonton, tiru, modifikasi.”
Uya Kuya, yang dulu menipu mata penonton dengan trik sulap di Uya Emang Kuya atau Jebakan Betmen, kini tak mampu menyulap rumahnya aman. Dulu ia jadi sutradara jebakan, sekarang ia korban jebakan. Inilah panggung teater terbesar di Asia Tenggara, di mana rakyat jadi aktor utama, politisi jadi figuran, dan undang-undang hanyalah properti panggung yang tak pernah dipakai.
Sejarah akan menulis ini sebagai bab unik, setelah Sahroni dan Eko, kini Uya. Besok siapa lagi? Who is the next?Apakah si menteri yang bilang Guru dan Dosen adalah Beban? Tak penting. Yang jelas, rakyat sudah menemukan hobi baru, mengesahkan RUU versi mereka sendiri lewat tutorial lapangan.
Mungkin ini pelajaran paling mahal bagi DPR, jangan biarkan rakyat belajar terlalu cepat. Sebab ketika rakyat sudah bisa bikin tutorial perampasan aset sendiri, tinggal tunggu waktu mereka bikin RUU baru, “Undang-Undang Balas Dendam Kolektif.”
Saat itu tiba, DPR tak perlu sidang paripurna. Cukup siapkan rumah masing-masing. Karena di luar sana, rakyat sudah siap membawa palu.
"Bang, cobalah buat narasi mendamaikan."
"Gini, wak. Di saat rakyat sedang marah sampai ubun-ubun, lalu kita nasihati, damailah. Itu sama saja menyiram api berkobar dengan setetes air dan meledak. Juga, seperti meremehkan perjuangan mereka yang siang malam menuntut keadilan. Ngopi yok, tanpa gula."
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer