Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Kita bahas Palestina, mumpung PBB mau gelar Sidang Umum. Prabowo juga akan pidato di sana. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak! Narasi ini akan menambah wawasaan soal geopolitik dunia.
Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana tapi menohok, kalau seluruh dunia sudah mengakui Palestina merdeka, tinggal Amerika sendirian ngotot bilang “tidak sah”, apakah Palestina bisa benar-benar jadi negara? Jawabannya, ya, bisa. Karena kemerdekaan itu lahir dari rakyat yang berdarah, bukan dari kertas yang diveto oleh Pak Satpam PBB.
Bayangkan, 192 negara di PBB sudah berdiri angkat tangan, “Kami akui Palestina!” Tinggal satu negara, Amerika, yang cemberut kayak anak TK kehilangan permen. Tapi karena ia duduk di kursi veto, semua orang jadi pura-pura segan. Padahal, kalau dipikir logis, apa artinya veto satu negara dibanding seluruh umat manusia yang bilang, “Sudah cukup! Palestina harus merdeka.” Ini ibarat satu orang di kampung ngotot bilang bumi itu datar, sementara sekampung sudah sepakat bumi bulat.
Sekarang mari kita lihat peta Eropa. Negeri-negeri yang katanya pusat demokrasi itu makin berbaris rapi mengakui Palestina. Swedia sudah sejak 2014. Tahun 2024 giliran Spanyol, Irlandia, dan Norwegia. Tak lama kemudian Slovenia ikut bergabung. Dari Eropa Timur, ada Bulgaria, Polandia, Hungaria, Rumania, Slovakia, dan Siprus yang sudah sejak dulu mengakui. Lalu 2025 ini tambah meriah: Portugal resmi bergabung, Prancis mengumumkan pengakuan menjelang Sidang Umum PBB, dan Malta sudah siapkan pernyataan resminya. Kalau dikalkulasi, dari 27 anggota Uni Eropa, sudah 11–12 negara yang mengakui. Itu artinya Eropa pelan-pelan meninggalkan kereta lokomotif Amerika yang tersendat.
Amerika membela Israel bukan karena cinta buta, tapi karena takut kehilangan wajah, pengaruh, dan, tentu saja, duit. Mereka tahu kalau Palestina merdeka, dominasi Israel bakal goyah, dan itu berarti Amerika kehilangan pos jaga di Timur Tengah. Mereka bela Israel mati-matian, persis kayak bodyguard yang sudah terlanjur dibayar mahal. Ente pikirkan, satpam komplek lebih galak dari pemilik rumah, sampai rela bentak semua tetangga yang protes.
Lucunya, ketika Sidang Umum PBB berlangsung, Presiden Palestina malah dilarang masuk Amerika. Visa dicabut. Duh, level apa lagi ini? Negara tuan rumah PBB malah mengusir tamu. Untung PBB masih punya akal sehat. Resolusi dibuat, Mahmoud Abbas boleh pidato via video. Hasilnya? Palestina jadi preseden unik, satu-satunya bangsa yang harus bersuara lewat layar, sementara penindasnya duduk manis di kursi depan. Ironis, sekaligus epik.
Tapi inilah filsafat merdeka, kemerdekaan itu tak butuh izin dari musuh. Palestina bisa saja tidak masuk PBB resmi karena veto Amerika, tapi kalau seluruh dunia sudah mengakui, maka secara de facto ia sudah berdiri sebagai bangsa. Amerika bisa menutup pintu, tapi tidak bisa mematikan semangat. Mereka bisa menyumbat mikrofon, tapi tidak bisa membungkam sejarah.
Lama-lama, justru Amerika yang makin terpojok. Dunia melihatnya sebagai anak manja yang takut ditinggal Israel sendirian. Kalau Palestina merdeka, dunia akan ingat, ini bukan karena hadiah dari Washington, tapi karena rakyatnya sendiri yang menolak tunduk. Itu baru merdeka sejati, kemerdekaan yang lahir dari penderitaan, darah, dan keberanian, bukan dari cap stempel PBB yang sudah lama jadi mainan geopolitik.
Kalau hari itu tiba, Amerika mau veto seribu kali pun, dunia hanya akan tertawa, “Sudahlah, veto-mu cuma seperti kentut di tengah badai.”
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer