Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena
Kalau di Spanyol ada Real Madrid vs Barcelona, di Kalbar sekarang ada duel panas Kejaksaan vs KPK. Sebuah duel hukum yang lebih panas dari bubur paddas yang baru ditaruh di atas kompor. "Ape bende age, Bang?" tanya budak Pontianak.
Pasal bende yang bukan lagi soal siapa menegakkan keadilan, tapi siapa paling gagah unjuk gigi, siapa paling bikin pejabat tak bisa tidur, siapa paling banyak dapat standing ovation dari rakyat. Simak narasinya sambil seruput kopi jelang salat Jumat, wak!
Ceritenye begini. Kita mulai dari Singkawang, kota amoi yang biasanya adem dengan Cap Go Meh dan tatung. Kali ini, bukan tatung yang kesurupan, tapi pejabat-pejabatnya. Kejari Singkawang masuk seperti band indie yang akhirnya bisa manggung di panggung besar. Mereka menetapkan tiga pejabat sebagai tersangka dalam kasus korupsi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pasir Panjang. Dua pejabat eselon II, WT dan PG, langsung ditahan bak pesakitan kelas VIP, setelah sebelumnya sudah ada S, pejabat puncak Pemkot, yang lebih dulu jadi tersangka. Total sudah tiga. Skor awal, Kejaksaan 3 – KPK 0.
Tapi jangan salah, ini baru babak penyisihan. Nilai kerugian negara yang mereka ungkap? Rp3,14 miliar. Uang segitu kalau dipakai beli ikan asam pedas, bisa bikin satu provinsi kenyang tiga kali sehari selama sebulan. Kejaksaan ingin menunjukkan, “Kami juga bisa, bukan cuma KPK yang jago nangkap pejabat.” Rakyat pun bersorak setengah percaya setengah geli, “Mantap, tapi jangan mandek di tengah jalan.”
Lalu masuklah babak kedua di Mempawah. Nah, di sini KPK tampil bak headliner festival. Langsung tiga tersangka, dua pejabat Dinas PUPR dan satu kontraktor. Bukan main-main, ini proyek jalan, yang kalau dilihat sekarang hasilnya bolong-bolong kayak keju Swiss. Kerugian negara? Rp40 miliar. Uang segitu bisa dipakai bikin jalan tol Pontianak–Singkawang gratis lewat 10 kali.
KPK tidak berhenti di situ. Mereka geledah rumah dinas Gubernur Kalbar Ria Norsan, rumah dinas Bupati Mempawah, sampai rumah pribadi pejabat lain. Wakil Bupati Mempawah pun ikut dipanggil jadi saksi. Ini jelas bukan main-main, KPK sudah naik level, main di liga provinsi. Kalau Kejaksaan main di level kota, KPK ini sudah siap tembak boss terakhir ala game RPG. Skor jadi 3–3, tapi KPK unggul agregat, kerugian Rp40 miliar lawan Rp3,14 miliar.
Nah, penonton mulai bingung mau dukung siapa. Sama kayak nonton El Clasico, ada yang fanatik Kejaksaan, ada yang fanatik KPK. Bedanya, yang ditonton bukan gol cantik, tapi pejabat ditangkap. Yang bikin lucu, rakyat nggak pernah nonton VAR, yang kita lihat cuma cuplikan di berita. Endingnya sering menggantung, kayak sinetron striping.
Kalau pakai kacamata filsafat absurd, ini seperti reality show “Indonesia’s Next Top Corruptor Hunter.” Ada dua host, Kejaksaan dan KPK. Peserta, para pejabat korup. Juri, media massa. Komentatornya? Netizen di warung kopi. Semua heboh, semua sibuk debat, sementara duit rakyat sudah keburu terbang entah kemana.
Di tengah hiruk pikuk ini, ada pertanyaan mendasar, apakah duel Kejaksaan vs KPK ini benar-benar demi rakyat, atau sekadar adu gengsi siapa lebih sangar? Karena kalau tujuan akhirnya hanya untuk pamer “siapa lebih cepat menetapkan tersangka,” ya percuma. Rakyat tetap bayar pajak, jalan tetap bolong, sekolah tetap reyot, dan harga cabai tetap bikin stres.
Siapa pemenangnya? Sampai sekarang belum ada. Yang ada hanyalah tontonan absurd, Kejaksaan sibuk sikat pejabat kota, KPK sibuk memburu pejabat kabupaten dan provinsi. Kalau begini terus, jangan-jangan nanti ada liga super, Kejaksaan vs KPK vs Polisi, siapa paling banyak tersangka dalam setahun.
Akhirnya, rakyat cuma bisa nyengir, tersangka boleh berganti-ganti, pejabat boleh jatuh satu per satu, tapi absurditas tetap jadi pemenang abadi. Karena di negeri ini, hukum bukan sekadar ditegakkan, tapi dipentaskan. Dan kita semua, tanpa sadar, sudah beli tiketnya.
Foto Ai, hanya ilustrasi
#camanewak
Social Footer