Breaking News

Kedigdayaan Kejaksaan Runtuh Bila Disebut Silfester Matutina

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Pontianak — Monitor86.com

Kejaksaan tinggi dengan kepala barunya sedang unjuk kedigdayaan di Kalbar. Semua pada terperangah. Sekali turun, empat lokasi digeledah. Cuma, kate budak Pontianak, "Cam iye..iye..!" Simak narasinya sambil seruput koptagul, wak!

Setiap kali kejaksaan menepuk dada dan berteriak, “Kami tangkap koruptor!”, rakyat hanya nyengir, lalu berbisik lirih tapi menusuk, “Bos, Silfester Matutina aja belum ditangkap.” Kalimat ini kini lebih sakral dari ayat-ayat suci pemberantasan korupsi. Ia diucapkan di ruang tamu, di tongkrongan, bahkan di grup WA alumni SD. Sebab, bagaimana mungkin rakyat percaya pada keadilan, jika seorang pria yang sudah divonis sejak zaman dinosaurus reformasi masih bisa bebas men-tweet, mengolok, dan berkelana di Jakarta seolah-olah ia sedang tur diplomatik ke planet Kejaksaan.

Silfester Matutina ini bukan alien, bukan makhluk astral yang kabur ke Mars. Orangnya di Jakarta, hidup, segar, mungkin sedang makan soto Betawi di Senayan. Tapi entah kenapa, bagi kejaksaan, dia seperti roh halus yang tak bisa disentuh hukum. Vonis inkrah sejak 2019? Ah, itu hanya angka di arsip. Jaksa mungkin lebih percaya pada mitos ketimun berduri ketimbang menjalankan perintah Mahkamah Agung. Begitu mereka disindir publik, jawabannya klise, “Sedang proses, kami profesional.” Profesional menunggu apa? Reinkarnasi?

Di Kalbar pun drama serupa berulang, hanya dengan lakon baru. Kali ini panggungnya adalah kasus hibah Yayasan Mujahidin, Rp 22 miliar menguap lembut dari 2019 sampai 2023. Dulu kasusnya adem, kepala Kejati lama mungkin lebih suka ketenangan batin. Tapi begitu ganti kepala baru, mendadak Kejati Kalbar berubah jadi harimau lapar. Mereka geledah empat lokasi, kantor yayasan dan tiga rumah saksi. Seragam cokelat berkibar, kamera wartawan berkilat, dan rakyat bersorak, “Wah, hebat!” Tapi di pojok kafe, ada juga yang nyeletuk, “Laporannya biar kinclong buat akhir tahun.”

Lucunya, objeknya sama, dokumennya itu-itu juga, tapi semangatnya berbeda. Dulu dingin beku, kini membara. Seakan kebenaran itu bisa diatur jam kerjanya. Kalau Kepala Kejati baru datang, maka semangat penegakan hukum pun ikut datang. Kalau sudah dekat pensiun, ya sudah, biarkan koruptor hidup damai. Hukum di negeri ini seperti kucing malas, hanya mengejar tikus kalau dilihat majikan.

Sementara itu, di Jakarta Selatan, jaksa-jaksa masih sibuk mencari Silfester yang mungkin sedang nonton konser atau main golf. Roy Suryo sampai ikut bicara, “Sudah 6 tahun inkrah, tapi masih bebas melenggang!” Ahmad Khozinudin bahkan bilang kejaksaan mandek. Tapi mungkin salah mereka, kejaksaan bukan mandek, hanya sedang “menyatu dengan semesta”, mempelajari konsep filsafat kebenaran versi mereka sendiri, di mana menunda eksekusi dianggap meditasi.

Di dunia kejaksaan, keadilan bukan soal cepat atau lambat, tapi soal momentum politik. Kadang hukum berjalan kencang bila kamera media sedang menyorot, dan berhenti total bila cahaya lampu padam. Di situlah letak filsafat kejaksaan, kebenaran tidak absolut, hanya relatif terhadap siapa yang jadi kepala dan siapa yang difoto sedang berjabat tangan.

So, jangan heran kalau setiap penggeledahan kini tampak seperti sinetron. Jaksa datang dengan gaya garang, padahal mungkin di balik layar mereka sudah menghitung bonus citra. Silfester pun mungkin tertawa kecil dari kejauhan, melihat aparat saling kejar bayangan sendiri.

Pada akhirnya, rakyat cuma ingin satu hal sederhana, kalau hukum itu benar-benar dijalankan, tolong jangan pilih-pilih korban. Tangkap koruptor, tapi jangan lupa, ada satu pria bernama Silfester Matutina yang masih berkeliaran, membawa wajah ironis hukum kita. Jika suatu hari ia benar-benar ditangkap, mungkin rakyat akan berteriak bukan karena lega, tapi karena kaget, ternyata kejaksaan masih bisa bekerja tanpa konferensi pers.

Mungkin itulah puncak filsafat kebenaran di republik ini, bukan ketika keadilan ditegakkan, tapi ketika penegak hukumnya akhirnya sadar, mereka pun sedang diuji oleh hukum yang mereka buat sendiri.

Foto Ai hanya ilustrasi

Publisher : Kris#camanewak

Type and hit Enter to search

Close