Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Awalnya saya tidak ngeh soal tuntutan Forum Purnawirawan TNI. Belakangan, kok makin ramai. Ramai karena ada 103 jenderal minta Wapres, Gibran diganti. Wow...seru ni! Yang ngomong jenderal, siapa berani melawan? Kita ngopi lagi wak walau sudah tiga gelas hari ini. Mari kita dalami aspirasi para jenderal ini.
Di sebuah negeri bernama Republik Indonesia, di mana logika kadang kalah telak oleh narasi. Lalu, kenyataan bisa kalah suara dari trending topic, terbitlah sebuah kabar dahsyat. Ada 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel bangkit dari masa pensiun untuk satu misi suci, mengganti Wapres Gibran!
Tidak, ini bukan adegan film The Expendables, ini nyata. Atau setidaknya nyata secara spiritual. Forum Purnawirawan TNI, kumpulan para pendekar militer yang dulunya mengguncang dunia dengan senapan, kini mengguncang politik nasional... dengan dokumen PDF dan live YouTube Refly Harun.
Presiden Prabowo, sang pendekar yang kini menduduki kursi naga di Istana Merdeka, mendengar kabar itu dengan ekspresi yang tak bisa dibaca manusia biasa. Ada bisik-bisik di antara awang-awang istana, “Apakah ini... ultimatum dari para tetua?”
Namun, di tengah kegemparan nasional yang hampir membuat tukang bubur pun berhenti jualan demi nonton talkshow politik, muncullah dia... Wiranto, sang penasihat abadi. Lelaki yang kalau Indonesia punya Infinity Stone, dia mungkin udah ngumpulin tiga. Ia muncul dari kabut sejarah politik dengan jas abu-abu dan senyum tipis, berkata pelan namun menggetarkan tanah:
“Presiden menghormati usulan itu... tapi sayangnya, beliau tidak bisa mengganti Wapres.”
Boom. Petir menyambar. Kambing tetangga pingsan. Tiktok berguncang. "Gimana bisa nggak bisa? Kan dia Presiden!" teriak rakyat sambil makan bubur kacang ijo di pinggir jalan.
Tapi inilah hukum tertinggi negeri ini, aturan konstitusi dan konten YouTube. Mengganti Wapres bukan perkara like dan subscribe. Harus lewat MPR, sidang, tata tertib, dan yang paling penting, restu semesta.
Namun tuntutan para purnawirawan ini bukan hanya tentang Gibran. Mereka ingin semuanya dikembalikan ke “versi original.” UUD 1945 tanpa tambal sulam. IKN? Dibatalkan. TKA China? Dipulangkan pakai kapal laut dari era VOC. Menteri-menteri loyal Jokowi? Di-uninstall seperti aplikasi trial yang kadaluarsa.
Ini bukan lagi tuntutan, ini mimpi kolektif untuk menekan tombol “Restart Republik.” Mereka ingin Indonesia versi 1.0, full nostalgia, tanpa bug era digital.
Lalu Prabowo? Ia berada di posisi paling absurd dalam semesta politik, dikelilingi tekanan purnawirawan, bayangan Jokowi, dan publik yang mudah lupa tapi suka drama. Ia adalah karakter utama dalam telenovela demokrasi yang tak berkesudahan. Mau mengabaikan? Salah. Mau merespons? Lebih salah.
Makanya, Prabowo mengambil jalan ninja, "Akan dipelajari."
Jalan diplomasi tingkat dewa, "Akan dikaji secara mendalam."
Sambil berharap rakyat sibuk ngurusin harga beras dan bukan konstitusi.
Tapi yang paling sakral dari semuanya adalah satu kalimat dari Wiranto,“Jangan gaduh!”
Ah, ya. Kartu andalan bangsa ini. Kalau semua gagal, cukup bilang “jangan gaduh.” Seolah semua ini bukan tentang institusi, kekuasaan, atau masa depan republik, tapi sekadar obrolan tetangga yang terlalu keras.
Begitulah wak, episode ini pun ditutup. Para purnawirawan kembali ke markas, rakyat kembali ke FYP TikTok, dan Prabowo kembali menatap senja dengan kuda putih di latar belakang, berpikir keras, “Apa benar ini semua cuma karena satu pasal MK dan satu anak Solo?”
Kita tidak tahu. Tapi yang pasti, sejarah sedang menulis bab baru. Seperti biasa, kita hanya bisa menyimak dari pinggir layar sambil bergumam, “Negara ini serius banget ya bikin plot twist. Mending Marvel belajar dulu dari DPR.”
Publisher : TImtas M-86 #camanewak
Social Footer