Breaking News

Dari Impor ke Ekspor, dari Derita ke Nirwana Padi

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Cerita impor beras, sudah biasa. Kadang menjadi isu kampanye Pilpres. Janji no impor, nyatanya tetap impor. Petani selalu jadi korban janji politik. Namun, sepertinya itu dulu. Sekarang, impor berubah menjadi ekspor beras. Iya, ekspor. Bahkan, daerah saya, Kabupaten Sambas akan dijadikan pintu perbatasan untuk ekspor beras ke Malaysia. “Usah nak pembulak, bang?” (Jangan suka bohong, bang?) dalam logat Melayu Sambas. Siapkan kopi liberika, wak! Ini kabar baik bagi petani, dan senyum manis pemerintah. 

“Gitu dong, Bang. Jangan cerita ijazah Jokowi tolen (melulu). Cerita ginikan asyik jadinya, taklah kening mengkerut,” kata Matasam teman setia ngopi. “Iya, nuan tenang, ambil rokok sebungkus sana gih, lalu dengarkan cerita ekspor ini dengan baik.”

Indonesia, negeri saya, negeri ente, negeri kita akan ekspor beras ke Malaysia. Ya, nuan tidak salah baca. Ini bukan hoaks dari grup WhatsApp emak-emak. Ini nyata, sah, resmi, dan mengandung makna filosofis yang mengguncang sendi-sendi ketahanan pangan nasional.

Dulu, beras adalah simbol penderitaan petani dan kebingungan pejabat. Setiap panen raya, media akan berlomba-lomba menampilkan close-up wajah petani yang murung di depan tumpukan gabah yang harganya ambyar. Pejabat pun segera rapat koordinasi, hasilnya? Impor. Solusinya selalu sama, klik, order, kirim. Satu kontainer datang, sepuluh ribu petani mengeluh. Begitulah daur ulang penderitaan agraria Indonesia. Dari sawah ke gudang, dari gudang ke kebijakan, dari kebijakan ke luar negeri. Ke luar negeri untuk… belanja.

Tapi kini, sejarah jungkir balik seperti gabah dalam mesin penggilingan. Pemerintah, dengan penuh wibawa dan penuh angka, mengumumkan cadangan beras pemerintah (CBP) mencapai 3,7 juta ton. Penyerapan beras dari Januari 2025 hingga pertengahan Mei saja sudah 2,1 juta ton. Dua-duanya adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah republik yang katanya agraris ini.

Sekarang? Sekarang kita tidak lagi minta, kita akan mengirim. Sebanyak 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia. Bukan cuma kirim, tapi dengan gaya, “Harga segini, standar begini, oke?” kata Wakil Menteri Pertanian Sudaryono. Oke, jawab Malaysia. Transaksi elegan, setara, diplomatis. Seperti dua sahabat lama yang dulunya suka pinjam-pinjam, sekarang sudah bisa traktir.

Sudaryono bahkan menambahkan bahwa Indonesia akan siap melayani negara-negara yang “tak bisa impor.” Kalimat ini terdengar seperti penggalan kitab suci. Penuh belas kasih, namun juga berisi kuasa. Indonesia bukan hanya penyelamat dapur tetangga, tapi juga calon misionaris beras ke benua yang lebih jauh, Afrika, Palestina, dan seterusnya. Seperti superhero agrikultur yang baru saja mendapatkan jubahnya, jubah dari karung 50 kilogram bertuliskan Bulog.

Tentu, semua ini tidak semata-mata datang dari langit. Ada kerja. Ada pupuk. Ada petani yang bangun subuh saat you baru tidur usai scrolling reels. Ada irigasi, ada traktor, ada drama distribusi. Tapi mari sejenak kita lupakan itu. Mari kita rayakan absurditas indah ini, dari negara pengimpor penuh derita, jadi negara eksportir penuh gengsi. Bahkan rencananya sudah mengapung, ekspor bulanan. Beras kita akan punya jadwal penerbangan reguler, seperti karyawan BUMN yang rutin ke luar negeri dengan seminar sebagai alibi.

Semua ini, semua ini, tinggal menunggu satu hal, komando Presiden Prabowo Subianto. Begitu komando diberikan, karung-karung beras akan mulai migrasi. Padi akan berpindah dari sawah ke sejarah. Kita tidak hanya mengirim bahan makanan, kita sedang mengekspor kehormatan nasional.

Apakah ini akhir dari ironi pertanian kita? Belum tentu. Tapi ini sudah sangat layak dicetak dalam buku pelajaran, “Suatu hari, bangsa yang dulu dihina karena impor, akhirnya berdiri tegak di atas lumbungnya sendiri.”

Lalu beras pun menatap langit, dan berkata, "Akhirnya aku bukan lagi korban kebijakan. Aku adalah diplomasi dalam bentuk bulir."

Publisher : Timtas M-86#camanewak

Type and hit Enter to search

Close