Breaking News

Mengenal Robert Francis, Paus Baru Umat Katolik dari Amerika

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Vatikan, 8 Mei 2025. Dunia bergetar, langit seakan menahan napas, dan asap putih yang mengepul dari cerobong Kapel Sistina bukan lagi sekadar tanda, melainkan deklarasi kosmi, umat Katolik resmi punya pemimpin baru. Kali ini, bukan dari Italia, bukan dari Spanyol, bukan dari Polandia, tapi dari… Amerika Serikat. Ya, Robert Francis Prevost, anak kelahiran Chicago, Illinois, menjadi Paus ke-267 dalam sejarah panjang Gereja Katolik. Dunia pun menganga. Umat Katolik? Mereka berdiri bangga sambil berkata dalam hati, “Akhirnya, Tuhan ngerti logat Midwest.”

Namanya kini, Paus Leo XIV. Sebuah nama yang menggema seperti genderang perang di kalbu para kardinal, para frater, dan para umat yang masih belum move on dari Paus Fransiskus. Tapi Paus Leo XIV bukan sekadar pewaris jubah putih itu, ia adalah simbol zaman baru. Dikenal rendah hati, terlatih secara intelektual, dan, tentu saja, menguasai lima bahasa aktif serta dua bahasa pasif (termasuk Latin dan Jerman). Robert Francis bukan pilihan sembarangan. Ia adalah Paus yang bisa menjawab email dalam tiga bahasa, membaca dokumen Vatikan tanpa Google Translate, dan memberi khotbah sambil menghitung probabilitas dosa dengan akurasi matematis.

Lahir pada 14 September 1955, dari ayah berdarah Prancis dan Italia serta ibu keturunan Spanyol, Paus Leo XIV nyaris merupakan ringkasan etnis Katolik itu sendiri. Masa mudanya tak dihabiskan dengan main basket atau bikin band rock Katolik, tapi justru menekuni matematika di Universitas Villanova. Sebelum ia mengurusi jiwa, ia mengurusi angka. Tapi angka tak pernah cukup untuk menyelamatkan dunia, dan karena itulah ia menempuh studi teologi di Chicago, lalu menyelesaikan lisensiat dan doktor hukum kanonik di Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas, Roma. 

Ditahbiskan pada 19 Juni 1982, ia lalu dikirim ke Peru. Bukan untuk wisata kuliner atau ziarah selfie, tapi benar-benar menjadi misionaris. Ia hidup bersama umat miskin, mengajar, melayani, dan mencintai tanpa pamrih. Dua dekade di Peru membuatnya bukan sekadar "berpengalaman lintas budaya", tapi menjadikannya warga ganda, Amerika dan Peru. 

Jabatan demi jabatan datang, Prior Jenderal Ordo Agustinus selama 12 tahun, Administrator Apostolik di Callao, Peru, lalu Prefek Dikasteri untuk Uskup, jabatan penting yang mengurus siapa boleh jadi uskup dan siapa harus lebih banyak doa. Pada 30 September 2023, ia diangkat menjadi kardinal, dan dalam waktu kurang dari dua tahun, para kardinal memilihnya sebagai Paus. 133 suara dalam konklaf akhirnya memunculkan nama yang tak sekadar mengejutkan, tapi juga membalikkan geopolitik Gereja Katolik. Dari Roma yang klasik ke Amerika yang dinamis.

Paus Leo XIV muncul ke balkon, dan dunia menyambutnya dengan rasa penasaran. Ia berbicara dengan bahasa Gereja yang universal, persatuan, harapan, keberanian. Ia memuji pendahulunya, Paus Fransiskus, dan berjanji meneruskan agenda reformasi, sinodalitas, keterbukaan, pelayanan kepada yang miskin dan terpinggirkan. Di tengah dunia yang makin nyinyir, Paus Leo XIV tampil sebagai simbol kesabaran surgawi.

Dalam 600 tahun sejarah Kepausan, ini adalah pertama kalinya Paus berasal dari negeri cheeseburger. Jangan keliru: di balik senyum Amerika itu, tersembunyi kebijaksanaan Andes, keteguhan Roma, dan kelembutan hati seorang gembala sejati. Umat Katolik di seluruh dunia kini tidak hanya punya pemimpin, tapi juga seorang Paus yang bisa memahami mereka, baik dalam bahasa manusia maupun bahasa algoritma.

Tuhan mungkin tak punya paspor, tapi umat-Nya kini punya Paus yang tahu cara naik kereta di Lima, pakai taksi di Roma, dan menyapa umat di Chicago dengan “Peace be with y’all.” Habemus Papam, dan dia datang dengan senyum, doa, dan kredensial akademik yang bisa bikin Harvard ikut novena.

Sebagai seorang Muslim, saya ucapkan selamat dan sukses buat seluruh umat Katolik sudah mendapatkan pemimpin barunya. 

Publisher : Timtas M-86 #camanewak

Type and hit Enter to search

Close