Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Cerita calon jemaah haji (calhaj) furoda ini memang panas. Terbaru, sekitar 30 ribu calhaj furoda dan mujamalah meluapkan amarah. Mereka mengecam Pemerintah Arab Saudi. Mari kita ungkap jeritan hati mereka sambil seruput kopi tanpa gula, wak.
Tahun 2025. Seharusnya jadi tahun kemenangan spiritual bagi 30.000 calhaj Furoda dan Mujamalah. Mereka bukan sekadar menabung niat, tapi juga menabung puluhan ribu dolar, menjual rumah, menggadaikan kenangan, bahkan ada yang rela menunda pernikahan demi menunaikan rukun Islam kelima. Tapi alih-alih thawaf di Baitullah, mereka malah thawaf di grup WhatsApp penuh tanya, “Visa sudah keluar belum?”
Pada 26 Mei 2025, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menutup penerbitan visa Furoda dan Mujamalah secara sepihak, diam-diam, tanpa notifikasi push dari aplikasi manapun. Tidak ada email, tidak ada breaking news, bahkan tidak ada angin sepoi-sepoi dari Kedutaan. Satu keputusan yang menguapkan harapan ribuan umat. Lebih parahnya, ini terjadi setelah para jemaah telah membayar antara USD 16.500 hingga USD 60.000, atau setara Rp 300 juta sampai Rp 960 juta, tergantung kurs dan fasilitas. Iya, bukan main. Ini bukan haji ekonomi, ini haji sultan.
Harga segitu bukan tanpa alasan. Para penyelenggara (PIHK) menawarkan layanan bak raja: hotel bintang 5 seperti Pullman Zamzam, tenda VIP di Mina (lengkap dengan AC dan dispenser zamzam), penerbangan langsung dengan Garuda atau Saudia Airlines, dan perjalanan antara 14 hingga 25 hari, tergantung paket dan seberapa banyak jemaah ingin difoto di depan Kakbah. Ini adalah haji versi VVIP, tidak antre, tidak numpang tenda, dan tidak rebutan kamar mandi. Cukup tunjukkan visa Mujamalah, undangan resmi dari Pemerintah Arab Saudi, dan ente bisa masuk tanpa menunggu antrean bertahun-tahun seperti jemaah reguler. Tapi ya itu tadi, visanya… tidak jadi keluar.
Forum Jama'ah Haji Furoda dan Mujamalah Indonesia pun murka. Mereka menyebut ini sebagai pengabaian internasional terhadap umat Islam Indonesia. Ini bukan sekadar error sistem. Ini bukan hanya soal kelalaian administratif. Ini adalah pelecehan spiritual dalam format PDF, yang menolak disetujui. Ini adalah perampasan hak umat untuk berhaji, bukan karena kurang iman, tapi karena tertinggal update kebijakan.
Selain itu, mereka juga menuntut negeri MBS itu melakukan: Reformasi regulasi internasional, pertanggungjawaban diplomatik dan moral, kompensasi finansial, dan konsultasi lebih transparan. Penutupan visa tanpa koordinasi dengan Indonesia dianggap sebagai pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral Arab Saudi sebagai pengelola Kakbah.
Bayangkan, wak! Mereka sudah latihan manasik tiap minggu, foto paspor dicetak di mug keluarga, koper sudah dilabeli “Baitullah 2025”, bahkan ada yang sudah membuat konten TikTok ucapan pamit ke Tanah Suci. Tapi akhirnya hanya bisa update status, “Ditunda, doakan tetap istiqamah.”
Kerugian? Ratusan miliar rupiah melayang seperti doa yang ditolak sinyal. Travel-travel PIHK berubah jadi tempat curhat massal. Beberapa pemiliknya bahkan mendadak rajin ikut kajian malam agar tidak stress. Sementara jemaah duduk termenung, menatap koper mewah di sudut ruang tamu seperti menatap masa depan yang ditunda sistem.
Forum Jamaah menyebut ini sebagai pelanggaran terhadap semangat Deklarasi Makkah 2019, juga Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, karena Kakbah adalah milik umat, bukan milik keluarga kerajaan. Ketika rukun Islam kelima dikelola seperti konser Coldplay, pakai undangan eksklusif, kuota terbatas, dan sistem tiket yang down, maka yang ditinggalkan bukan hanya jemaah, tapi juga keadilan.
Inilah tragedi Furoda 2025, saat manusia ingin berkunjung ke Baitullah, tapi visanya tak kunjung datang. Butuh niat, butuh tabungan, dan, rupanya, butuh takdir digital yang disetujui Arab Saudi.
Teruslah berjuang! Siapa tahu Saudi bisa membuka kembali visa haji ini, dan tahun bisa menyentuh Kakbah.
Publisher : Timtas M-86#camanewak
Social Footer