Oleh: Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Ada sudah menyimpulkan, pelayanan haji kali ini jauh lebih buruk dari sebelumnya. Banyak menyalahkan Kemenag. Nama Prabowo juga sering disebut saat jamaah haji berjalan berkilo-kilo. Ternyata, Pemerintah Arab Saudi yang mengaku salah dan minta maaf. Mari kita ungkap permintaan maaf MBS sambil seruput kopi tanpa gula.
Di padang gersang yang menjadi altar umat manusia, jutaan orang berkumpul. Mengenakan kain putih yang meniadakan kasta, pangkat, dan preferensi politik, mereka menyeret langkah demi langkah menuju Mina. Tapi tunggu. Bukan karena perintah agama semata. Mereka jalan kaki... karena bus tidak datang. Ya, bus. Moda transportasi yang seharusnya menjadi kendaraan sakral menuju prosesi melempar jumrah, malah berubah jadi makhluk metafisik yang eksistensinya dipertanyakan oleh para jemaah dan filsuf.
Inilah puncak ibadah haji 2025, di Arafah, Muzdalifah, Mina, alias Armuzna. Di tengah lautan manusia yang haus akan maghfirah, terjadi puncak lain yang tak kalah emosional, puncak krisis logistik. Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, dalam keterangannya yang terdengar tenang tapi penuh keringat batin, menyampaikan bahwa Pemerintah Arab Saudi telah menyampaikan permintaan maaf. Iya, maaf. Kalimat sakti yang bisa menyelamatkan hubungan suami-istri, dan tampaknya sekarang juga menyelamatkan hubungan diplomatik dua negara.
Permintaan maaf ini datang langsung dari Pangeran Mohammad bin Salman, disampaikan saat Pak Menteri diundang ke Istana Kerajaan. Sebuah gesture megah yang jika diterjemahkan ke bahasa rakyat berbunyi kira-kira, “Maaf ya, bus-nya ngadat. Kami juga bingung.” Kalimat sederhana, tapi menggema hingga ubun-ubun para jemaah yang kakinya melepuh karena harus jalan kaki sejauh lima kilometer lebih, bukan demi lari pagi, tapi demi lempar jumrah.
Padahal, menurut jadwal resmi, pemberangkatan jemaah dari Muzdalifah ke Mina sudah dimulai pukul 23.35 Waktu Arab Saudi, 10 Zulhijjah 1446 H. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, menjelaskan bahwa pada dasarnya realisasi sudah sesuai rencana. Tapi nyatanya, Muzdalifah baru benar-benar “kosong dari jemaah Indonesia” pada pukul 09.40 WAS, terlambat 40 menit dari target, meskipun dalam jam spiritual, 40 menit bisa terasa seperti kiamat kecil.
Masalahnya ternyata kompleks. Bukan hanya karena bus-bus kehabisan bensin spiritual, tapi karena antrean ribuan bus saling menempel bak jemaah rebutan kurma gratis. Lalu lintas menjadi padat seperti pikiran seorang jemaah yang sedang menimbang antara sabar atau ngamuk. Bahkan para jemaah akhirnya mengambil inisiatif berjalan kaki karena merasa lebih logis untuk mengandalkan betis sendiri dari menunggu bus yang entah berada di dimensi mana.
Di sinilah kita menemukan filsafat haji yang sejati. Bahwa haji bukan cuma soal melempar batu ke jumrah, tapi juga melempar ego, harapan, dan ekspektasi terhadap jadwal transportasi. Bahwa berjalan kaki di tengah malam bukan bentuk penderitaan, tapi bagian dari kontemplasi. Bahwa memaafkan bukan sekadar basa-basi kerajaan, tapi juga cara menyelamatkan reputasi dari kegagalan manajemen armada.
Minta maaf adalah seni tertinggi peradaban. Ia datang saat orang sedang kesal, namun dibungkus dalam bahasa diplomasi. Saat jemaah kelelahan berjalan di padang pasir dan menemukan diri mereka sendirian dalam keramaian, permintaan maaf itu muncul seperti oasis, tak bisa diminum, tapi cukup untuk menahan kita agar tidak pingsan spiritual.
Mungkin, tahun depan, bus akan benar-benar datang. Tapi jika tidak pun, tak apa. Sebab iman sejati adalah berjalan di tengah debu, dalam keadaan haus, sambil tetap yakin, Tuhan tidak pernah salah. Yang sering salah hanyalah sopir dan jadwal.
Apa makna semua ini? Bahwa Haji adalah pelatihan spiritual dan logistik level dewa. Bahwa minta maaf itu penting, meski solusi datang tahun depan. Bahwa iman harus kuat, tapi juga punya sepatu yang tahan banting.
Pada akhirnya, setiap tetesan keringat, amarah, dan kaki melepuh, semuanya akan dicatat Malaikat sebagai amal saleh. Termasuk umpatan halus yang diredam di dalam hati, seperti, "Astaghfirullah... ini busnya kemana sih?"
Publisher : TIMTAS M-86#camanewak
Social Footer