Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Pada Jumat pagi, 13 Juni 2025, dunia bangun dengan kabar bahwa Israel resmi ngegas. Bukan dalam arti metaforis, tapi dalam bentuk rudal-rudal presisi tinggi yang meluncur ke udara menuju Iran. Ini seperti sekumpulan tawon digital yang baru saja dibisiki “ayo rebutkan uranium terakhir di dunia.” Target mereka jelas, fasilitas nuklir, lokasi militer, dan sisa-sisa harga diri bangsa Persia yang belum hancur sejak perang delapan tahun lawan Irak dan embargo abadi dari Barat.
Ledakan mengguncang Teheran sebelum ayam sempat berkokok. Lalu, memaksa pertahanan udara Iran menaikkan status siaga ke "level full paranoia" sistem rudal diaktifkan, langit dibanjiri cahaya antariksa, dan semua operator radar dipaksa menandatangani wasiat spiritual sebelum shift dimulai. Dalam waktu singkat, ibukota berubah dari kota metropolitan menjadi gim real-time strategy yang dimainkan oleh bocah kelas tiga SD dengan trauma sejarah.
Di balik tirai kabut dan dentuman, muncul Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, ya, masih dia, dengan ekspresi ambigu antara ngantuk, puas, dan baru saja selesai mengunyah ayam goreng. Di depan wartawan, Trump menyatakan,
“Saya tidak ingin bilang ini akan terjadi, tapi ya, kayaknya mungkin. Mungkin tidak. Tapi mungkin juga iya.”
Kalimat itu langsung ditafsirkan oleh pakar geopolitik sebagai pertanda munculnya zaman edan jilid II, dan oleh filsuf barat sebagai manifestasi post-modernisme yang paling jujur sejak Nietzsche bilang Tuhan sudah mati.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Galant dan Katz menyatakan, serangan ini adalah bentuk defense aktif preventif ofensif super proaktif, atau dalam bahasa normal, “Kami nyerang duluan, soalnya kami tahu mereka bakal nyerang juga, cuma belum tahu kapan.” Israel juga menetapkan status darurat, bukan karena takut, tapi karena itulah protokol ketika kau menabuh genderang perang terhadap negara yang punya teman-teman nyebelin seperti Hizbullah, milisi Houthi, dan Rusia yang lagi bosan.
Iran, tentu saja, menyangkal semua tuduhan. Mereka menyatakan tidak sedang membuat senjata nuklir, hanya memperkaya uranium sebagai bagian dari “program kedokteran nuklir dan terapi spiritual berbasis isotop.” Pejabat Iran bahkan menyebut, “Ini hanyalah upaya jahat untuk mengganggu ketenangan warga sipil yang sedang bersiap menyambut akhir pekan.” Sungguh, hanya di Timur Tengah makna “akhir pekan” bisa melibatkan rudal, drone, dan pidato revolusioner dari balkon.
AS, yang beberapa hari sebelumnya menarik staf kedutaannya dari Irak, langsung menyatakan tidak terlibat. Tapi itu seperti melihat seseorang berdiri di samping rumah yang terbakar sambil pegang korek dan bilang, “Saya cuma lewat, bro.” Dunia tahu, dalam konflik Timur Tengah, Amerika selalu “tidak terlibat” sampai tiba saatnya bikin pangkalan militer baru.
Harga minyak melonjak 6 persen. Pasar dunia panik. Para investor mencium aroma uang dari tumpahan darah. OPEC menggelar rapat darurat via Zoom, sambil bertanya, “Kita naikkan harga lagi atau langsung buat reality show perang musim kedua?”
Ini bukan lagi soal Israel dan Iran. Ini soal dunia yang terus memutar drama yang sama dengan aktor berbeda, latar berbeda, tapi skrip yang sama bodohnya, perang demi perdamaian, kehancuran demi stabilitas, dan retorika demi clickbait. Sementara langit Teheran terbakar, para pemimpin dunia sibuk memilih kata-kata “tepat” untuk menanggapi, agar bisa terlihat peduli tapi tetap menjual senjata.
Jika ini bukan perang dunia, maka ini adalah trailer-nya. Jika ini bukan kiamat, maka ini adalah latihan gladi bersihnya. Dunia telah berubah menjadi panggung absurd, di mana rudal adalah argumen, dan rakyat sipil hanyalah latar belakang. Sementara itu, umat manusia duduk manis di sofa, menyaksikan siaran langsung kiamat perlahan, dengan tahu isi rasa uranium dan kopi berlabel "Free Palestine" atau "Defend Israel," tergantung siapa yang jualan.
Perang ini belum berakhir, bahkan sulit diakhiri. Kecuali, keduanya ngopi bersama.
Publisher : TIMTAS M-86#camanewak
Social Footer