Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86 com
Pagi ini saya mau jadi ustaz sebentar. Untuk para ustaz, permisi, mau menyampaikan tausiyah sambil seruput kopi tanpa gula. Boleh ya, taz!
Ini lanjutan cerita Mbah Nasikah, seorang ibu yang sempat dibuang dua anaknya ke panti asuhan. Seorang nenek yang rambutnya seputih iman, hatinya selembut sajadah subuh, tapi nasibnya sekelam novel Dostoyevsky. Ia bukan siapa-siapa, hanya seorang ibu tua yang dibesarkan oleh masa lalu dan diseret oleh masa kini yang kejam. Ia dibawa ke panti jompo oleh dua anak kandungnya, F dan SF yang dulunya menyusu di dadanya, kini tega menitipkannya seperti barang titipan di laundry kiloan.
Bukan karena mereka miskin, bukan karena mereka yatim piatu, bukan pula karena rumah mereka ambruk tertimpa meteor. Tapi karena... entahlah. Katanya, "sudah tidak sanggup merawat." Padahal sanggup beli iPhone baru, sanggup liburan ke Bali, dan sanggup selfie di depan cermin sambil caption “Berbakti itu penting.” Iya, penting, tapi ke kamera, bukan ke ibu.
Arief Camra, Ketua Yayasan Griya Lansia Husnul Khatimah, awalnya menolak menerima Mbah Nasikah. “Panti ini hanya untuk yang benar-benar tak punya keluarga,” katanya. Tapi F dan SF datang dengan wajah penuh air mata palsu, logika bengkok, dan dalih berbentuk PowerPoint. Akhirnya, diterimalah Mbah Nasikah, dengan syarat sekeras batu nisan, tak boleh jenguk, tak boleh dihubungi kalau wafat. Bayangkan, wak! Ibu yang melahirkanmu tidak akan diberi kabar ketika ajalnya datang menjemput. Astaga. "Ngape tang goye!" kate orang Sambas.
Untunglah, netizen, makhluk yang biasanya suka nyinyir soal artis kawin cerai, kali ini berpihak pada nurani. Mereka menggonggong, menggigit, memburu, hingga F dan SF tak bisa lagi menghirup oksigen dunia maya tanpa dihina. Akhirnya mereka menyerah. Mereka menjemput kembali Mbah Nasikah. Tapi tidak dengan peluk penuh kehangatan. Hanya dengan tangis dan pengakuan dosa. Tapi sayang, air mata anak durhaka tak bisa membasuh luka di hati seorang ibu.
Meski Islam tak mengenal karma, tampaknya langit sedang ingin pamer. Usaha mereka merugi. Cucu-cucu mereka di-bully di sekolah. Bahkan saldo e-wallet mereka susah isi ulang. Netizen menggila, tetangga jadi juri. Doa ibu yang tersakiti bekerja lebih cepat dari sinyal 5G.
Dalam Islam, ridha Allah tergantung pada ridha orang tua. Murka Allah? Cukup dengarkan suara hati seorang ibu yang ditinggalkan. Jangan main-main. Ibu bukan fasilitas umum yang bisa ditinggal saat kita sibuk. Ia adalah pintu surga. Siapa pun yang menutup pintu itu sendiri, jangan salahkan Tuhan bila hidupmu jadi seperti nasi basi di dalam termos yang tak pernah dibuka.
Kini Mbah Nasikah telah kembali ke rumah, tapi bukan ke pelukan. Ia kembali seperti tamu tak diundang, dibawa pulang bukan oleh cinta, tapi oleh rasa takut akan kutukan publik. Takut dikejar netizen. Ia duduk di kursi yang sama, tapi hatinya sudah tak di sana.
Dalam filsafat Islam, orang tua bukan hanya sumber genetik, tapi wasilah ke surga. Ketika engkau menyakiti ibumu, engkau tidak hanya memutus urat kasih, tapi juga menyobek lembaran amalmu sendiri. Bahkan pintu surga yang delapan itu bisa menutup satu per satu, digembok oleh air mata perempuan tua yang pernah menimangmu.
Inilah zaman di mana manusia belajar banyak tentang kemajuan, tapi lupa satu pelajaran paling dasar, jangan sakiti ibumu. Sebab kalau kau buat dia menangis, langit akan mencatat, bumi akan bersaksi, dan hidupmu akan dihantui bukan oleh hantu, tapi oleh kehilangan berkah yang tak pernah kembali.
Jika njenengan masih tega membuang ibumu, maka jangan salahkan dunia kalau suatu hari kau pun dibuang... bahkan sebelum kau tua.
Mohon dikoreksi bila salah ya ustaz. Maklum menulis ini sambil kaki di sofa, kopi di atas meja, jemari menari di atas keypad Hp. Semoga bisa menyadarkan kita semua tentang keramat seorang ibu.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer