Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Yang paling ditakutkan, akhirnya terjadi. Iran menyatakan atau mendeklarasikan perang pada Israel. Deklarasi perang ini muncul telah Amerika ngebomb tiga situs nulir Iran. Apa yang bisa kita perbuat? Hanya bisa duduk minum kopi tanpa gula, selebihnya berdoa. Mari simak narasi ini untuk melihat perang terbaru antara Iran dan Israel plus Amerika.
Di suatu pagi buta, tanggal 21 Juni 2025, langit Iran tak lagi berselimut doa, melainkan dihiasi semburat api dan suara gemuruh pesawat pengebom B-2 Amerika Serikat yang datang bukan untuk mengantarkan bantuan pangan, tapi bom ‘bunker-buster’ seberat dendam abad ke-20. Tiga situs nuklir suci Iran; Isfahan, Natanz, dan Fordow, tak luput dari siraman cinta Amerika yang meledak-ledak. Dari balik reruntuhan beton nuklir itu, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) pun berteriak lantang, “Perang dimulai sekarang juga!” Sambil menekan tombol sirine dan membuka kitab konstitusi mereka yang baru disalin dari naskah ‘Avengers: Endgame’.
Fasilitas nuklir Fordow, yang konon berada di bawah gunung dan dijaga oleh doa-doa imam Mahdi, kini dilaporkan rusak. Amerika tampaknya bertekad membuktikan bahwa tak ada tempat yang terlalu dalam untuk dicapai, selama Tuhan di pihak mereka dan anggaran militer mencapai triliunan dolar.
Sementara di sisi yang lebih tenang namun penuh perayaan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sedang bersorak-sorai di podium seperti komentator olahraga yang melihat gol bunuh diri dari lawan politiknya. Dengan gaya yang lebih mesianik dari nabi dan lebih teatrikal dari penyair Persia, ia memuji Trump sebagai “pelurus sejarah” tokoh yang memimpin Operasi Rising Lion seperti Musa membelah Laut Merah, bedanya ini dengan B-2, bukan tongkat.
“Pertama datang kekuatan, lalu datang perdamaian,” ujar Netanyahu, sembari mungkin memandangi cermin dan berkata, “Saya masih tampan, bukan?”
Di Washington, Trump tampil gagah seperti pahlawan film 80-an. Dengan jas kebesaran dan rambut emas berkilau yang tampaknya mendapat wahyu langsung dari Pentagon, ia mengumumkan bahwa tiga situs nuklir Iran “telah sepenuhnya dan sepenuhnya dihancurkan.” Repetisi dua kali “sepenuhnya” itu bukan karena ia gagap, tapi karena dalam kamus Trump, kalau tidak sombong, bukan retorika namanya.
Iran pun membalas dengan gaya khasnya, menyebut tindakan itu sebagai “biadab dan melanggar hukum internasional,” sambil diam-diam mempersiapkan konferensi pers lanjutan, balasan drone, dan satu atau dua kecaman dari ulama senior. Di Qom, sistem pertahanan udara diaktifkan, meski beberapa ledakan tetap terdengar. Ini membuktikan bahwa bahkan rudal pun punya preferensi, mereka suka bunyi dramatis saat masuk ke laporan Fars dan IRNA.
Sementara itu, Sekjen PBB Antonio Guterres muncul seperti kepala sekolah yang telat saat tawuran pecah. Dengan wajah galau dan kalimat bijak yang sudah lama kehilangan efeknya, ia berkata, “Sangat penting untuk menghindari spiral kekacauan.” Namun sayangnya, spiral itu sudah berubah jadi pusaran neraka geopolitik dan musik latarnya adalah dentuman bom.
Apakah ini awal dari Perang Dunia 3, atau hanya sekuel terbaru dari sinetron geopolitik yang tak pernah selesai? Apapun itu, satu hal pasti, manusia memang makhluk rasional. Tapi dalam hal perang, mereka justru paling kreatif. Sebab, seperti kata filsuf kontemporer dari Barat, “Kalau tak bisa membangun masa depan, hancurkan saja masa kini.”
Kini, dunia menanti babak selanjutnya. Apakah ini hanya trailer dramatis dari film panjang berjudul “Demokrasi dan Uranium: Sebuah Tragedi Modern”? Tak ada yang tahu. Tapi satu hal pasti, setiap kali negara besar berkata “damai”, biasanya itu setelah mereka melempar sesuatu yang bisa meledak.
Publisher : Timtas M-86#camanewak
Social Footer