Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Kembali pada cerita perang Iran vs Israel plus Amerika. Bagaimana sikap sekutu dekat Iran, yakni Rusia dan China setelah aksi pengemboman Amerika itu? Mari kita ungkap dan tentu sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Hari ketika Paman Sam memutuskan ngebom fasilitas nuklir Iran bukanlah hari biasa. Bukan pula hari yang dipilih oleh semesta karena bintang-bintang sejajar di langit. Itu melainkan hari ketika ego superpower memuncak seperti mie rebus yang lupa diangkat dari panci. Tanggal 21 Juni kini tercatat dalam sejarah sebagai hari ketika logika ditumbuk pakai GBU-57A/B dan diplomasi disobek dengan senyuman khas Trump yang berkata, “Kami sudah menghapus mereka dari peta.” Mungkin dia pikir ini Google Maps.
Tiga situs nuklir Iran, termasuk Natanz, Isfahan, dan Fordow, yang sebenarnya sedang diawasi IAEA, dibombardir seperti sarang tikus oleh koalisi Amerika-Israel. Alasannya? Tentu saja, demi perdamaian dunia. Karena tak ada yang lebih damai dari menjatuhkan bom seberat 14 ton ke fasilitas yang katanya belum sempat bikin apapun. Itu seperti membakar rumah tetangga karena kamu mimpi dia sedang menyimpan petasan.
Rusia langsung memanggil seluruh kosa kata kemarahan diplomatik yang mereka punya. Mereka menyebutnya sebagai “pelanggaran hukum internasional paling brutal sejak manusia diciptakan.” Iran pun buru-buru mengirim Menteri Luar Negeri-nya ke Moskow. Mungkin sambil membawa sekeranjang pistachio dan peta cadangan jika yang asli benar-benar terhapus. Di sana mereka duduk bersama Putin, membahas strategi, dan mungkin menyusun naskah pertunjukan baru berjudul "Bagaimana Menyulut Perang Dunia III Tanpa Menyentuh Tombol Nuklir."
Tiongkok tak tinggal diam. Negeri tirai bambu itu membuka tirai dan berkata, “Ini melanggar Piagam PBB, dan kalian harus berhenti sebelum semuanya berubah jadi puing.” Mereka menyarankan Israel dan kawan-kawan untuk duduk dan berdialog. Dialog itu, tentu, dalam dunia geopolitik modern, setara dengan mengajak pitbull kelaparan untuk makan malam vegan, niatnya mulia, hasilnya berdarah.
Sementara itu, Selat Hormuz mendadak jadi tokoh utama dalam drama global. Sebuah potongan laut sempit yang biasanya diabaikan oleh peta pelajaran geografi, kini menjadi titik genting dunia. Iran mengancam menutupnya. Dunia pun panik. Karena di situlah 20% minyak global dan sepertiga gas alam cair lewat setiap hari. Ini bukan selat, ini adalah aorta ekonomi dunia. Jika ditutup, pasar bisa kolaps lebih cepat dari baterai HP murahan. Harga minyak? Dari $69 melesat ke $74 hanya dalam sehari. Beberapa analis sudah memesan tisu karena memprediksi lonjakan sampai $150.
India, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan yang bergantung pada selat ini layaknya anak kos pada mie instan, mulai berkeringat dingin. NATO pura-pura sibuk main UNO, tapi matanya sudah melirik ke Timur Tengah. Ranjau laut? Iran punya 6.000, dan katanya bisa menabur 100 per hari. Mungkin mereka sudah buka franchise.
Kini dunia berdiri di tepi jurang kebodohan yang diaspal oleh konspirasi, dilapisi sarkasme, dan dicat oleh filsafat perang. Ini bukan sekadar konflik nuklir. Ini tentang siapa yang paling bising, siapa yang paling bersenjata, dan siapa yang paling tega. Diplomasi tampaknya sudah dibekukan, mungkin sedang dititipkan di freezer Dewan Keamanan PBB sambil menunggu tanggal kadaluarsa.
Jika semua ini meledak, bukan karena kebencian, bukan karena iman, tapi karena sepetak laut yang sempit, bom yang terlalu besar, dan kepala-kepala negara yang terlalu panas. Inilah peradaban, kita membangun satelit, AI, dan teori relativitas, hanya untuk menghancurkan semuanya dengan ranjau laut dan perasaan tersinggung.
Selamat datang di dunia absurd. Tempat di mana logika dikalahkan oleh testosteron nuklir dan perdamaian hanyalah jeda sebelum iklan bom berikutnya.
Sumber berita; hindustantime, usatoday, aljazeera, pbs, english.palinfo, forbes, goodreturn, dan newsweek.
Publisher : Timtas -M86#camanewak
Social Footer