Breaking News

Gila..! Untuk Melanyapkan Ilham Butuh 15 Orang

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Kalau dipikir, dunia kriminal Indonesia ini benar-benar kaya imajinasi. Kita sudah sering mendengar orang dikeroyok lima lawan satu. Tapi, kali ini beda, wak! Seorang Ilham Pradipta, kepala cabang bank, rupanya dianggap begitu "mahal" sehingga untuk melenyapkan nyawanya, dibutuhkan pasukan layaknya Avengers versi gelap. Tidak main-main, sampai hari ini, polisi sudah mengantongi 15 tersangka. Lima belas! Itu kalau dikumpulkan bisa bikin regu voli, lengkap dengan cadangan dan official. 

Siapkan lagi kopi tanpa gulanya untuk menikmati narasi ini. Lanjut lagi. Butuh 15 orang tanda Ilham bukan orang sembarangan, jelas. Kalau orang biasa, mungkin cukup satu pisau, satu pelaku, lalu headline media selesai. Tapi ini? Diculik dulu, dioper-oper tim eksekutor, lalu dihabisi dengan gaya outsourcing kriminal. Seolah-olah kematian Ilham adalah proyek tender raksasa yang membutuhkan banyak vendor dan subkontraktor.

Yang paling seru, baru saja ada tujuh tersangka baru ditangkap. Polisi seperti sedang bermain kartu remi. Setiap hari ada saja tersangka baru dibuka dari balik meja penyidikan. “Surprise! Tambah tujuh lagi, Bos!” Rasanya seperti menonton sinetron tak berkesudahan. Tiap episode ada tokoh baru muncul. Penonton makin penasaran siapa dalang sebenarnya. 

Bayangkan, wak! Untuk kasus pembunuhan saja, aktornya sudah bisa dibagi ke dalam beberapa klaster. Ada eksekutor, otak intelektual, bahkan manajer lapangan. Kalau ini perusahaan, sudah ada struktur organisasinya lengkap. Tinggal bikin AD/ART dan sewa kantor.

Kita pun jadi bertanya, apa motif sebenarnya? Kenapa harus ribet begini. Padahal, sejarah dunia kriminal mengajarkan, semakin banyak orang terlibat, semakin cepat rahasia terbongkar. Tapi mungkin di situlah absurditasnya. Para pelaku tampaknya ingin membuat karya seni kejahatan paling kolosal. Sebuah simfoni kriminal yang bukan sekadar pembunuhan, melainkan opera berdarah yang melibatkan banyak instrumen manusia. Tujuh tersangka baru ini adalah biola, cello, dan terompet yang sebelumnya belum diperdengarkan. Polisi tinggal jadi dirigen yang mengatur tempo.

Namun, absurditas lain muncul dari cara masyarakat menanggapi. Alih-alih takut, publik malah semakin penasaran. Siapa lagi yang bakal muncul besok? Apakah jumlah tersangka akan tembus 20, 30, bahkan 40? Apakah nanti ada daftar tunggu tersangka seperti antre minyak goreng? Polda Metro Jaya tampaknya menikmati peran sebagai penulis naskah drama kriminal ini, menunda-nunda klimaks, membiarkan publik terperangkap dalam spekulasi. Bahkan muncul gosip, kasus ini berakar dari kredit fiktif Rp13 miliar. Angka itu bikin kepala berasap. Tentu saja, di negeri ini, uang segitu bisa membuat orang berpikir jalan pintas, “Kalau tak bisa ditagih, ya tagih nyawa saja.”

Yang membuat kisah ini semakin dramatis adalah bagaimana kita harus menafsirkan posisi Ilham. Dia bukan sekadar korban, dia simbol. Untuk menyingkirkannya, perlu 15 orang, sebuah metafora betapa besar bobot tubuhnya dalam ekosistem keuangan atau betapa berat dosa yang ditimpakan kepadanya. Dia bukan hanya manusia, dia seperti sebuah gunung yang tak bisa dipindahkan kecuali oleh sekumpulan tenaga kriminal yang bekerja lembur. 

Begitulah, tujuh tersangka baru hanyalah babak tengah. Drama ini belum selesai. Kita menunggu, siapa lagi yang akan ditarik dari balik panggung? Apakah aktor intelektual sejati masih duduk manis di singgasana, menonton karyanya dipentaskan? Satu hal pasti, pembaca harus tetap duduk manis, karena investigasi ini bukan sekadar mencari keadilan, melainkan filsafat baru kriminal Indonesia, bahwa untuk menghabisi satu Ilham, negeri ini butuh 15 nama dalam daftar tahanan, dan mungkin masih akan bertambah.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close