Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Rasanya sudah lama saya tak mengenalkan para koruptor. Kita disibukkan soal ijazah palsu, sampai soal pemblokiran rekening rakyat. Kali ini ada muncul koruptor elite dari tanah Lampung Utara. Seorang ibu lagi. Duh, tak habis-habisanya para bedebah, pengkhianat rakyat di negeri ini. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Indonesia, tanah para pahlawan dan para pelaku tender. Di tengah gegap gempita pembangunan nasional yang kadang cuma menempel di spanduk, muncul sosok bersinar dari Lampung Utara. Dialah dr. Aida Fitriah Subandhi, M.Kes. Dokter ini bukan sekadar manusia biasa, tapi mutiara kesehatan dari Kotabumi, Dewi Hipokrates dari bumi Ruwa Jurai, dan ikon ASN harapan rakyat… sebelum akhirnya rakyat sadar, harapan itu ditilep juga.
Lihat rekam jejaknya. Gelarnya tidak main-main. Ada “dr.” di depan yang menandakan ia pernah bersumpah demi keselamatan nyawa manusia. Lalu “M.Kes” di belakang, simbol pendidikan tinggi dan keahlian manajerial kesehatan. Ditambah jabatan Direktur RSUD H. Mayjend Ryacudu, lengkap sudah. Ia seorang kartini medis, pemimpin lembaga penyembuhan, dan pencetak prestasi. Bahkan saat awal menjabat pada 5 September 2022, dia berkoar-koar ingin mendatangkan dokter spesialis anak, membenahi sistem, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit. Begitu meyakinkan, begitu memesona, begitu... licin.
Tapi apa daya, keindahan itu ternyata seperti lantai rumah sakit saat baru dipel, mengilap, tapi bikin terpeleset kalau tidak hati-hati. Drama ini dimulai dari proyek rehabilitasi tiga ruang suci: ICU, Kebidanan, dan Penyakit Dalam. Total nilai proyeknya? Sebuah angka yang membuat rakyat menelan ludah, Rp2,398,538,000 dari APBD 2022. Sebuah dana yang jika dipakai untuk beli kasur rumah sakit, cukup buat rebahan satu provinsi. Tapi ternyata, uang sebesar itu dikelola layaknya belanja warung soto.
dr. Aida, yang seharusnya jadi jantung integritas RSUD, justru bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen yang membuat rakyat berkomitmen untuk muntah. Ia menyerahkan proyek pada seseorang bernama Irwanda Dirusi, yang bahkan bukan pemenang tender resmi! Volume pekerjaan tidak sesuai kontrak. Realisasi fisik proyek lebih fiktif dari sinetron kolosal. Hasil audit Kejati Lampung mengungkap: kerugian negara mencapai Rp211.088.277, dengan rincian ICU tekor Rp30 juta, ruang kebidanan nyolong Rp82 juta, dan ruang penyakit dalam dicekik hampir Rp100 juta. Bayangkan,wak! Ruang sakit malah dibikin makin sakit oleh yang seharusnya menyembuhkan.
Ketika ditahan pada 29 Juli 2025, dr. Aida tampil elegan dalam rompi tahanan warna merah muda, hijab putih, dan raut wajah antara pasrah dan lupa skrip drama korupsinya. Delapan jam diperiksa, dua puluh hari ditahan, dan entah berapa tahun penyesalan yang akan datang, jika masih ada rasa malu di hatinya. Yang lebih absurd, pelaksanaan proyek dilakukan subkontraktor gelap. Sementara pemenang tender resmi hanya jadi penonton. Seperti membeli tiket bioskop, tapi yang nonton justru malingnya.
Wahai rakyat, inilah bukti bahwa korupsi tidak kenal profesi. Bahkan dokter, simbol penyembuh luka, bisa berubah jadi dalang pembuat borok bangsa. Hari ini kita saksikan filsafat baru, “Lebih baik membangun integritas dari membangun ruang ICU yang jadi sarang korupsi.” Tapi sayangnya, dr. Aida memilih jalan sebaliknya. Ia bangun karier, lalu bangun proyek, lalu bangun muslihat, sampai akhirnya yang roboh bukan hanya bangunan rumah sakit, tapi juga marwah dan martabatnya sendiri.
Kini, dr. Aida telah berubah dari penyelamat jadi penghancur. Dari harapan jadi kehancuran. Dari malaikat medis jadi simbol betapa korupsi bisa mengenakan jas putih dan bicara soal integritas dengan wajah tak berdosa. Wahai dokter, semoga ruang tahanan itu cukup sejuk untuk merenungi satu hal, bahwa yang lebih sakit dari pasien adalah bangsa yang dikhianati oleh penyembuhnya sendiri.
“Bang, kenapa dalam foto itu, sang dokter pakai masker, sih. Mestinya tak ditutupi wajahnya, biar jelas.”
“Iya, benar, mestinya tak pakai masker. Tapi, sudahlah, wak. Udah pada tahu semua, kok.”
"Yang sebelah kanan bu dokter tu bisa kenalan ndak, Bang?"
"Hus, ente ni, nackal. Ia tu jaksa, tak cocok dengan pengopi cam kite ni." Ups, becanda.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer