PONTIANAK // Monitor86.com
Ini tulisan saya kedua tentang fenomena bendera one piece atau bajak laut. Tanggapan netizen memang luar biasa. Sebuah bentuk kritik sosial yang massif. Namun, ada oknum pemerintah sangat baper, mau mempidanakan segala. Mari simak narasinnya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.
Satu bendera berkibar. Bergambar tengkorak tersenyum pakai topi jerami. Para pejabat langsung gemetaran seperti baru dengar kata "audit". Bendera bajak laut dari anime One Piece itu bukan sekadar kain. Ia telah berubah menjadi manifesto frustrasi nasional.
Kenapa rakyat memilih kibarkan bendera bajak laut, bukan mengangkat poster capres favorit? Karena rakyat sudah tidak punya waktu main sandiwara. Mereka tidak butuh retorika. Mereka butuh kerja. Butuh gaji. Butuh harga sembako yang bisa diajak damai.
Kita tengok data BPS Februari 2025. Dari 216,79 juta penduduk usia kerja, cuma 145,77 juta yang benar-benar bekerja. Sisanya? 7,28 juta pengangguran resmi. Itu yang terdata. Yang tak terdata? Masih magang jadi sobat miskin, nunggu diselamatkan sama giveaway TikTok.
Tingkat Pengangguran Terbuka 4,76%. Kecil? Relatif. Tapi itu artinya ada jutaan manusia yang bangun pagi, mandi, berdoa, buka laptop… lalu tidak ada yang memanggil interview.
Nah, ketika negara gagal menghadirkan keadilan ekonomi, rakyat beralih ke simbol. Ketika negara pura-pura tidak mendengar jeritan rakyat, rakyat mengibarkan bendera yang paling nyaring, bendera bajak laut.
Dalam semesta One Piece, Luffy tidak pernah janji menciptakan 19 juta lapangan kerja. Tapi dia selalu setia memperjuangkan kebebasan kru-nya dari penindasan. Luffy tidak punya visi-misi. Tapi dia punya nyali dan loyalitas. Sesuatu yang belakangan ini makin langka, bahkan di rak supermarket.
Rakyat tidak sedang ingin menjadi perompak. Mereka hanya sedang meniru semangatnya. Luffy melawan Pemerintah Dunia yang korup. Sementara rakyat kita? Melawan pajak digital, birokrasi ngaret, dan rekening yang tiba-tiba diblokir padahal isinya cuma cukup buat beli pulsa.
Tapi negara malah menyikapi ini dengan kebaperan tingkat tinggi. Dibilang makar. Disarankan ditindak. Bahkan diberi label ancaman terhadap persatuan bangsa. Serius? Ancaman persatuan itu justru ketika rakyat lapar dan tidak didengar.
Coba bayangkan. Ribuan rakyat sudah antre di bursa kerja, justru disuruh ikut pelatihan prakerja berkali-kali, tapi kerjaannya tetap tak datang. Rakyat mau buka usaha, dipersulit izin dan dipalak retribusi. Rakyat mau hidup tenang, tapi tiap minggu ada pajak baru muncul bagai hantu di kamar kos.
Dalam kondisi seperti ini, apa salahnya rakyat cari pelampiasan? Apa salahnya mereka mengangkat bendera fiksi, jika realitas terlalu menyakitkan?
Drajat Tri Kartono, sosiolog UNS, bilang ini pencarian identitas. Gugun El Guyanie menyebutnya nasionalisme alternatif. Rakyat menyebutnya… “karena hidup di dunia nyata sudah terlalu absurd.”
Wahai para pejabat baik di istana, Senayan, di mana pun berada, dari pada sibuk mempersoalkan bendera bajak laut, coba pikirkan, dari 216 juta warga usia kerja, berapa yang benar-benar sejahtera? Kalau Luffy bisa membela temannya dari penjajah, kenapa negara malah memblokir rekening rakyat sendiri?
Jika rakyat lebih percaya pada Luffy daripada lembaga legislatif, Mungkin yang perlu direformasi bukan bendera... tapi sistem. Karena saat rakyat lebih yakin pada kapal bajak laut fiksi ketimbang kapal bangsa yang sesungguhnya, itu artinya, kapten negeri ini sedang....ente isi sendirilah wak. Tak kuat saya melanjutkannya.
Baiklah, wak! Kita ngopi lagi di saat Kota Pontianak baru saja diguyur hujan cukup lama. Ada banyak rumah kemasukan tamu tak diundang. Dingin-dingin empuk.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer