Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Akhirnya, Prabowo gerak cepat, bertindak untuk meredam emosi rakyat. Caranya, ngumpulkan pentolan parpol besar di istana. Hasilnya? Nikmati narasinya sambil seruput lemon tea tanpa gula, asem wak!
Pada 31 Agustus 2025, Istana Kepresidenan Jakarta berubah jadi panggung sandiwara agung. Presiden Prabowo Subianto mengundang seluruh ketua umum partai politik yang punya kursi di DPR. Dari Megawati yang hadir bagai ratu nostalgia, Surya Paloh dengan jenggot kosmiknya, Zulkifli Hasan yang selalu siap pose kamera, hingga Cak Imin dengan jargon reformasi yang sudah seperti kaset kusut. Bahkan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas hadir mewakili AHY, seolah opera politik ini perlu cameo tambahan.
Latar belakangnya jelas, rakyat marah. Demonstrasi meledak di berbagai kota, fasilitas umum terbakar, dan DPR jadi kambing hitam nasional. Publik menuding tunjangan DPR lebih mirip dongeng harta karun, gaji pejabat bagai planet asing. Di tengah gejolak itu, Prabowo menyatakan dengan suara berat, “Kami mendengar aspirasi murni masyarakat.” Kalimat yang heroik di podium, tapi terdengar seperti template pidato tahunan bagi mahasiswa yang sudah lelah teriak.
Agenda rapat terasa seperti daftar belanja politik, yakni evaluasi tunjangan DPR, transparansi pejabat publik, ancaman makar, terorisme, sampai rencana sekolah rakyat dan Koperasi Merah Putih. Namun ada satu hal mencolok, RUU Perampasan Aset tidak ikut dibahas. Padahal publik sudah lama menjerit soal itu. Rakyat ingin pejabat dan koruptor yang menumpuk harta aneh-aneh ditarik kembali ke kas negara. Tapi di ruang Istana, topik itu lenyap seperti kucing maling ikan. Pengamat sinis berbisik, mungkin terlalu berbahaya, sebab membicarakan perampasan aset di antara elite sama saja seperti arisan sambil saling intip rekening.
Para pengamat menilai pertemuan ini bukan cuma soal mendengar aspirasi, tapi konsolidasi kekuasaan. Layaknya gladi resik reshuffle kabinet, semua ketua umum parpol hadir untuk mengamankan kursi. Megawati duduk di samping Prabowo, simbol persatuan elite, satu foto bisa meredam spekulasi sekaligus menegaskan kursi empuk tetap terjaga.
Reaksi ketum pun teatrikal. Cak Imin menyerukan “evaluasi total lembaga negara,” meski rakyat sudah hafal itu mantra politik musiman. Ibas menolak bahas Kapolri, memilih kalimat aman, “Kita butuh ketenangan.” Surya Paloh bicara tentang solidaritas nasional, sementara Zulhas sibuk memastikan wajahnya masuk frame kamera. Semuanya tampak sepakat, jaga harmoni elite, meski rakyat mendidih di luar pagar.
Sementara itu, mahasiswa di jalan tetap tak bergeser. Mereka menolak dialog yang hanya simbolik. “RUU Perampasan Aset mana? Itu yang kami teriakkan!” seru poster mereka. BEM bertekad tak berhenti turun ke jalan sebelum tuntutan dipenuhi, potong tunjangan DPR, buka transparansi pejabat, usut kekerasan aparat, dan tentu saja, loloskan RUU Perampasan Aset yang selalu menguap di meja rapat.
Tragedi 28 Agustus, ketika seorang ojol tewas saat aksi, masih menjadi bara. Rakyat menolak lupa. Mereka merasa suara mereka disulap jadi catatan indah di notulensi Istana tapi tak pernah turun ke tanah.
Maka jadilah dua panggung berjalan paralel. Di dalam Istana, elite menari dengan karpet merah, berdiskusi tentang koperasi dan solidaritas, tapi menghindari aset-aset misterius yang mereka miliki. Di luar, mahasiswa dan rakyat berteriak di bawah terik matahari, menuntut keadilan yang nyata.
Opera kursi empuk ini akhirnya ditutup dengan janji, aspirasi rakyat akan ditindaklanjuti. Tapi janji tanpa RUU Perampasan Aset ibarat sate tanpa daging. Rakyat pun bertanya, siapa sebenarnya yang ditakuti elite, rakyat di jalan atau harta yang mereka sembunyikan?
Esok, 1 September dijadwalkan demo besar-besaran di sejumlah kota besar. Prabowo sudah mewanti-wanti, minta Kapolri dan Panglima tindak tegas massa anarkis.
Info terbaru, Eko Patrio dan Uya Kuya resmi mundur dari anggota DPR RI. Sementara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan partainya.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer