Breaking News

Rekening Nganggur Disita, 7,28 Juta Penganggur Gimana?

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

PONTIANAK // Monitor86.com

Setiap yang nganggur bahaya sekarang ini. Disita negara. Tanah nganggur, sita. Bangunan kosong, sita. Rekening dormant, sita. “Istri nganggur pun disita.” Hus, nak merampot ente wak, kata budak Pontianak. Just kiding. Kali ini masih seputar pembekuan rekening dormant, alias rekening nganggur. Semua pada gerah, terutama yang punya rekening. Yang tak punya sih, slow saja.

Jangankan kita rakyat kecil, Presiden Prabowo pun ikutan gerah. Si pentolan PPATK itu pun dipanggil ke istana. Saya kira pemblokiran dibatalkan, rupanya masih tetap jalan. Di tengah kebijakan tak populis itu, saat ini, angka pengangguran sudah mencapai 7,28 juta. Luar biasa. Pastinya bukan termasuk saya di dalamnya, bukan juga ente-kan? Mari kita ungkap persoalan ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak. 

Negeri ini memang unik. Di saat pengangguran bertambah 83.450 orang, setara populasi satu kabupaten kecil, negara malah sibuk membekukan rekening nganggur. Padahal yang benar-benar nganggur dan butuh perhatian itu justru manusianya, bukan uangnya. Tapi inilah Indonesia 2025, tempat di mana saldo tidur lebih dicurigai ketimbang elite politik yang kerjaannya juga tidur di rapat.

Mari kita buka data suci BPS terbaru. Per Februari 2025, Indonesia punya 7,28 juta pengangguran, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76% dari 153,05 juta angkatan kerja. Ini bukan angka receh. Ini realitas yang, kalau diumpamakan jadi konser Coldplay, sudah bisa isi stadion GBK tiga kali tanpa sisa. Tapi, apakah negara heboh? Tidak. Tidak ada satupun yang bilang, “Wah, ini berbahaya, kita harus blok akses hidup mereka.” Tidak ada. Karena, ya... yang penting bukan manusianya, tapi rekeningnya.

Bayangkan absurditasnya, rekening yang tidak aktif selama tiga bulan langsung diblokir atas nama “menjaga integritas sistem keuangan.” Tapi manusia yang tidak aktif bekerja selama tiga tahun, masih dibiarkan hidup sambil ikut kuis giveaway di TikTok dan disuruh “jangan baper, tetap semangat.”

Lebih tragis lagi, pengangguran terbesar disumbang oleh anak muda usia 15–24 tahun, dengan TPT 16,16%. Yang lebih menyayat, lebih dari 1 juta penganggur adalah lulusan universitas. Mereka ini, kemungkinan besar, juga pemilik rekening dormant yang dibekukan. Jadi setelah gagal dapat kerja, kini mereka gagal juga menyentuh saldo. Lengkap sudah penderitaan mereka, penganggur dengan rekening dibekukan. Double kill.

Ivan Yustiavandana, sang kepala PPATK yang kini lebih populer dari stand-up comedian, berkata, “Rekening nganggur itu rawan dipakai buat kejahatan.” Oke, logis. Tapi bagaimana dengan 7,28 juta orang yang nganggur? Masa kita mau bilang, “Pengangguran itu rawan jadi copet digital, makanya harus ditangkap sebelum mereka buka Tokopedia?”

Rekening nganggur dianggap berisiko, padahal mungkin isinya cuma Rp 12 ribu hasil cashback aplikasi. Sementara para penganggur dianggap statistik biasa yang cukup disorot setahun sekali waktu rilis data BPS. Padahal, mereka ini manusia. Mereka bukan angka. Mereka butuh kerja, bukan malah dibikin stres karena tiba-tiba saldo tak bisa diakses.

Coba bayangkan dialog imajiner ini:

Penganggur: “Saya nganggur, Pak. Tapi saya punya tabungan kecil buat bertahan hidup.”

Negara: “Lho, rekening kamu nggak dipakai ya? Wah, maaf, kita blokir dulu ya. Takut disalahgunakan.”

Penganggur: “Lho, terus hidup saya gimana?”

Negara: “Ya… cari kerja dong! Tapi jangan berharap dari saldo ya, itu udah dibekukan atas nama bangsa.”

Konyol? Ya. Tapi begitulah filsafat kebijakan kita, rekening nganggur dianggap berbahaya, sementara pengangguran dianggap biasa saja.

Maka benarlah pepatah baru bangsa ini, “Lebih baik kamu nganggur dari pada rekeningmu yang nganggur.” Karena rupanya, dalam republik ini, diamnya uang lebih berbahaya dari diamnya manusia.

Selamat datang di Indonesia. Negara yang sayang pada saldo, tapi lupa pada pemiliknya.


Publisher : Krista #camanewak

Type and hit Enter to search

Close