Breaking News

Wafatnya Pak Kwik, Tangisan Netizen Tiada Henti

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Ini tulisan saya kedua tentang wafatnya Pak Kwik Kian Gie. Tulisan pertama sudah dibaca 304 ribu lebih, mengalahkan tulisan kekalahan Timnas 0-1 oleh Vietnam hanya 21K. Semua berkomentar positif. Ucapan belasungkawa tiada henti. Saya berpikir, menteri yang berintegritas kalau wafat ya seperti Pak Kwik ini. Mari kita ungkap legacy Pak Kwik sambil seruput kopi tanpa gula lagi, wak!

Biasanya, media sosial hanya hafal dua hal, sensasi dan selebritas. Tapi kali ini, linimasa penuh air mata. Komentar-komentar berduka berseliweran di setiap sudut digital, bukan untuk artis atau tokoh viral, tapi untuk Kwik Kian Gie, seorang ekonom yang tak pernah mengejar popularitas, tapi justru dikenang dengan cinta yang tak dibuat-buat. Wafatnya pada 28 Juli 2025 bukan sekadar kabar duka, melainkan alarm sunyi, integritas sedang kehilangan salah satu penjaganya.

Netizen, yang katanya sinis, nyinyir, dan cepat lupa, justru kompak berkata, “Kita kehilangan orang baik.” Tak ada cacian. Tak ada tudingan. Yang ada hanya barisan pesan penuh kekaguman, rasa hormat, dan nostalgia akan sosok yang tak pernah mau menjilat kekuasaan. Legacy Kwik terlalu dalam untuk dikubur. Ia hidup di kepala orang-orang yang pernah mendengar suaranya yang pelan tapi menggentarkan.

Dikenal luas sebagai ekonom kritis, lulusan Erasmus Universiteit Rotterdam, Kwik tidak hanya bicara soal angka dan grafik. Ia bicara tentang harga diri sebuah bangsa. Ia pernah menjabat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri di era Gus Dur, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional di era Megawati. Tapi jabatan itu tak pernah merusak pikirannya. Ia tetap tegas menolak liberalisasi ekonomi yang merugikan rakyat kecil, dan lantang menolak dominasi IMF, Bank Dunia, dan utang luar negeri yang menurutnya menjajah dengan cara yang lebih sopan tapi lebih kejam.

Netizen ingat itu. Mereka ingat bagaimana Kwik berdiri sendiri di tengah sorak-sorai neoliberalisme. Bagaimana ia bersuara sendirian ketika semua memilih diam demi karier. “Orang ini tidak bisa dibeli,” tulis seorang pengguna. Komentar itu bukan basa-basi. Itu fakta sejarah.

Kwik tak sekadar pejabat. Ia juga pendidik. Pendiri Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, yang kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business. Saya paling hormat dan salut bila ada orang mendirikan sekolah atau perguruan tinggi. Menurut saya, itulah mahakarya. Dalam Islam, amal jariyahnya akan terus mengalir selama lembaga pendidikan itu terus beroperasi.

Pak Kwik membuktikan, membangun manusia lebih penting dari membangun proyek. Ia menulis buku seperti Saya Bermimpi Jadi Konglomerat dan Analisa Ekonomi Politik Indonesia, bukan untuk pencitraan, tapi untuk mencerdaskan. Pemikiran beliau tidak pernah mati.

Netizen, generasi yang katanya "tidak kenal sejarah," justru menyimpan memori kolektif tentang pria yang pernah diperiksa KPK sebagai saksi ahli, bukan tersangka. Mereka tahu, ia adalah satu dari sedikit orang yang masuk ruang penyidikan bukan untuk menunduk malu, tapi untuk menjelaskan kebenaran. Di era ketika kebenaran makin langka, Kwik adalah mercusuar yang kini padam, tapi cahayanya masih membekas di dinding waktu.

Tak ada selebrasi mewah. Tak ada pemakaman negara dengan marching band dan bunga-bunga dari korporasi. Tapi netizen, rakyat biasa, diam-diam membuat pemakaman digital untuknya. Sebuah bentuk penghormatan yang paling jujur, karena datang tanpa protokol, tanpa upacara, hanya karena hati mereka berkata: “Indonesia tak akan punya banyak orang seperti ini lagi.”

Mungkin Kwik tidak trending selama hidupnya. Tapi hari ini, ia abadi. Bukan karena algoritma, tapi karena legacy, warisan tentang keberanian menjadi berbeda, tentang jujur meski diserang, dan tentang memilih jalan sunyi ketika semua orang ramai menuju panggung sandiwara. Selama masih ada satu netizen yang menuliskan, “Terima kasih, Pak Kwik. Kami tidak lupa,” maka Indonesia masih punya harapan.

Publisher : Krista#camanewak

Type and hit Enter to search

Close