Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Dulu, di zaman Orba, siapa saja mengkritik pemerintah akan dicap "PKI". Sekarang ada fenomena menarik, siapa yang tak sejalan dengan keluarga dicap "Agen CIA". Mari kita lindas, eh salah, kupas fenomena liar ini sambil seruput tanpa gula, wak!
Di sebuah warung kopi yang penuh asap rokok dan percikan ideologi setengah matang, muncul satu pertanyaan abadi yang mengguncang sendi-sendi republik, benarkah Sri Mulyani agen CIA? Ya, Sri Mulyani, sang mantan Menteri Keuangan yang sudah berulang kali keluar masuk kabinet, tiba-tiba dicap sebagai agen rahasia negeri Paman Sam. Bukan oleh FBI, bukan oleh Wikileaks, melainkan oleh unggahan Instagram yang konon kabarnya berasal dari putra Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ah, betapa indahnya demokrasi medsos. Tuduhan bisa lahir hanya dengan satu story yang cepat menguap seperti kopi sachet diseruput buru-buru.
Mari kita bedah absurditas ini dengan pisau filsafat spionase. CIA, lembaga yang konon bisa menjatuhkan pemerintah Iran tahun 1953, mengatur kudeta di Chile 1973, mendanai Mujahidin Afghanistan hingga lahirlah Taliban, serta meracuni Fidel Castro dengan cerutu gagal, tiba-tiba dituduh merekrut seorang ekonom Indonesia yang sibuk menghitung defisit APBN dan menegur bendahara negara soal pajak. Jika benar Sri Mulyani adalah agen CIA, maka ini adalah plot twist paling dramatis dalam sejarah spionase, agen rahasia yang misi utamanya bukan menyusup ke Kremlin atau Beijing, tapi memeriksa laporan keuangan BUMN yang tak pernah beres.
Absurd? Tentu. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Karena dalam filsafat konspirasi, fakta bukanlah tujuan, sensasi adalah candu. Tuduhan “agen CIA” sudah lama jadi default setting bagi siapa saja yang tidak disukai di republik ini. Dari aktivis mahasiswa sampai pejabat tinggi, semua bisa jadi agen CIA, agen Mossad, bahkan agen alien, tergantung siapa yang bikin meme. Bedanya, kali ini tuduhan itu datang dari lingkaran keluarga menteri baru. Dramanya jadi epik, seakan-akan ini bukan reshuffle kabinet, melainkan perang dingin jilid dua, antara Sri Mulyani si “mata-mata Washington” dan Purbaya Yudhi Sadewa, sang jenderal fiskal lokal.
Padahal kalau kita buka catatan sejarah, CIA itu bekerja dengan operasi super rahasia. Operation Mockingbird merekrut wartawan, MK-Ultra bikin manusia jadi kelinci percobaan LSD, Iran-Contra Affair menjual senjata demi membiayai perang. Nah, kalau Sri Mulyani benar agen CIA, seharusnya kita sudah melihat tanda-tanda, misalnya APBN disusun dalam bahasa Inggris, pajak dibayar dalam dolar, atau setiap rapat kabinet ada agen rahasia yang duduk manis sambil menyeruput kopi tanpa gula di pojokan. Tapi apa buktinya? Nihil. Hanya sebuah unggahan IG yang menghilang lebih cepat dari senyum pejabat saat ditanya wartawan.
Ironinya, tuduhan ini muncul tepat setelah Sri Mulyani digantikan oleh Purbaya. Laksana adegan opera Yunani, sang menteri turun panggung, digantikan oleh pemain baru, lalu dari balkon muncullah suara “dia agen CIA!” Persis seperti tragedi klasik di mana aktor tak pernah mati, hanya berganti topeng.
Apakah benar Sri Mulyani agen CIA? Jawabannya ada dua. Dari sisi logika, tidak ada bukti, jadi kemungkinan besar tidak benar. Tapi dari sisi satire politik, tuduhan ini justru memperlihatkan betapa liar imajinasi publik. CIA mungkin sedang tertawa, “Hei, kami repot mengurus Rusia, Tiongkok, Timur Tengah, masa iya kami sibuk nyuruh Sri Mulyani ngurus defisit Indonesia?”
Akhirnya, mungkin Sri Mulyani bukan agen CIA. Tapi di republik penuh drama ini, setiap orang bisa menjadi agen, ya agen gosip, agen hoaks, agen gas melon, agen pulsa, agen politik. Itulah intelijen paling berbahaya, bukan CIA, bukan BIN, melainkan akun anonim di medsos yang sekali posting bisa mengguncang negara.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Publishe : Krista#camanewak
Social Footer