Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Hari ini, Sabtu, 6 September 2025, merupakan hari ketiga dari ultimatum mahasiswa. Artinya, tinggal 27 hari lagi menuju gong sakral menentukan nasib RUU Perampasan Aset. Di luar sana, rakyat masih menonton, ya seperti menonton sinetron Azab di Indosiar, di mana penjahat sudah jelas-jelas jahat, tapi kamera tetap memberi dia panggung. Bedanya, kali ini aktor utamanya bukan dukun santet, melainkan para wakil rakyat yang pura-pura budek seakan-akan aksi massa hanyalah deru kipas angin kos-kosan. Mari kita lindas, eh salah, kupas drama ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Hampir tak ada reaksi. Yang ada hanya omon-omon, alias pidato random seperti kaset rusak. Padahal, hukum itu bukan dongeng. Ia bukan kuda lumping yang bisa dirasuki roh lalu tiba-tiba menari. Hukum seharusnya logis, lugas, melindungi rakyat. Tapi di republik ini, hukum sudah berubah menjadi filsafat kantin, semua orang bicara, tak ada yang bayar bon.
Mari kita rewind. Wakil Ketua Baleg DPR, Sturman Panjaitan, dengan gaya politisi sok bijak, bilang, “Ya nggak apa-apa sih, siapa aja bisa ngusulin.” Seakan-akan ini bukan RUU yang sudah 17 tahun mandek, melainkan lomba karaoke di kantor RW. Bayangkan, wak! Udah 17 tahun! Itu lebih lama dari masa pacaran yang kandas hanya karena tidak cocok selera mie instan. Kalau saja RUU ini seorang bayi, sekarang dia sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, ikut demo, dan ikut menuntut dirinya sendiri disahkan. Ironi paripurna.
Di hari lain, DPR mencoba menenangkan mahasiswa dengan audiensi penuh basa-basi. Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal tampil bagai tiga musketir demokrasi, tapi yang keluar hanya jargon lembek, “Komitmen bersama atas rasa kecintaan terhadap bangsa.” Lah, kalau cuma cinta bangsa, itu juga bisa diucapkan penjual cilok depan kampus. Yang ditunggu rakyat itu bukan puisi norak, tapi palunya diketok!
Mahasiswa jelas tidak main-main. Aliansi BEM SI dan Cipayung Plus menegaskan, DPR jangan cuma ngabisin tunjangan. Jangan pula kriminalisasi massa dengan tuduhan makar ala abad pertengahan. Ketua BEM UI bahkan langsung menantang Prabowo membentuk tim investigasi kekerasan terhadap demonstran. Lantang. Tegas. Jelas. Tapi entah kenapa, di kuping DPR, itu mungkin terdengar seperti ringtone TikTok, masuk telinga kiri, keluar pakai filter beauty.
Sementara itu, di luar pagar Senayan, para “influencer sipil” mulai dikerahkan. Mereka membuat narasi seakan RUU Perampasan Aset adalah monster Godzilla. Pertanyaannya, siapa yang lebih monster? Koruptor yang merampok uang negara, atau undang-undang yang mencoba merebut kembali apa yang sudah dicuri? Mari berfilsafat sebentar, Plato bilang keadilan itu memberi pada yang berhak. Tapi di negeri ini, yang berhak malah sering dipinggirkan, sedangkan maling besar justru diberi karpet merah.
Tak berhenti di sana, Ongen Paonganan ikut muncul dengan wejangan ala orakel. Ia bilang jangan buru-buru, jangan sampai rakyat kecil jadi korban. Benar juga. Tapi mari kita bongkar absurditasnya. Selama ini, siapa yang paling sering jadi korban? Apakah kelas menengah ke bawah yang bisa menyuap aparat? Tentu tidak. Justru rakyat kecil sudah sering dirampas, bahkan sebelum ada RUU ini, dirampas waktunya, dirampas pajaknya, dirampas juga sabarnya. Kalau ada yang bilang RUU ini “lebih kejam dari monarki absolut,” izinkan saya tertawa sambil meminjam logika filsafat hukum, monarki absolut setidaknya jujur bahwa dia zalim. Sedangkan republik ini menyamar sebagai demokrasi sambil merampok di belakang layar.
Hitung mundur terus berjalan. 27 hari menuju batas ultimatum mahasiswa. Pertanyaan filosofisnya, apakah DPR akan memilih jadi Socrates yang rela mati demi kebenaran, atau jadi badut sirkus yang rela hidup demi tunjangan? Rakyat masih menonton, kopi tanpa gula masih di atas meja, tapi sabar mereka bisa berubah jadi badai.
Maka, wahai anggota DPR yang terhormat, jangan kira waktu ini panjang. Countdown 30 hari bukan sekadar angka. Ia adalah lonceng pengadilan sejarah. Sejarah tidak pernah memberi ampun pada mereka yang pura-pura tuli.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer